Kamis, 26 April 2012

resensi 09410189



Judul               : Islam dan Pergumulan Budaya Jawa
Pengarang       : Prof. Dr. Simuh
Tahun terbit     : 2003
Penerbit           : Teraju
Kota terbit       : Jakarta

            Suatu agama yang menjauh dari rasionalitas-empirik, jelas tidak mendapat dukungan nilai progresif dan mudah ditinggalkan penganutnya. Ia mudah terjerumus kepada pemikiran serba mistik yang menimbulkan pola budaya klenik, statis, dan irasional. Sebaliknya, jika hanya nilai rasio-empirik dan progresif yang dijadikan nilai satu-satunya, seperti kebudayaan Barat dewasa ini, yang kering nilai religiuitas, maka ia akan mengantar penganutnya ke pola hidup yang hedonis-sekularistik, yang berujung pada nestapa manusia modern.
            Buku ini menganalisis interaksi antara Islam dengan budaya Jawa (kejawen) dan Barat modern. Persentuhan antara budaya Jawa dengan Islam memunculkan Islam yang bercorak sinkretik. Tetapi bila dilihat dari perspektif kebudayaan Jawa yang paling banyak dipengaruhi hinduisme, yang terjadi proses sintetik yang amat serasi. Sebagai contoh lahirnya serat wulangreh, wedhatama, centhini, serat babad demak, ambiya, dan sebagainya yang mencerminkan proses sintetik itu. Tetapi jika dilihat dari perspektif Islam yang lahir justru bentuk sinkretik yang tidak murni. Nilai agama menggejala dalam kepercayaan mistik yang kemudian mempengaruhi adat dengan berbagai tatacara dan rangkaian upacaranya yang kompleks.
            Pada intinya buku ini ingin memberikan pencerahan kepada umat muslim, bahwa hidup itu tidak statis. Begitu pula dengan perkembangan Islam yang seharusnya benar-benar mampu mengimbangi zaman. Era sekarang yang dikatakan sebagai era globalisasi, dimana terjadi perang teknologi, perang ilmu dan pengetahuan, serta perang wawasan, Islam sebagai agama sepanjang masa, harusnya berkembang secara fleksibel, yaitu mengikuti zaman.
            Seperti pernyataan penulis Prof. Dr. Simuh, bahwa ada tiga jenis cara berpikir, pertama, kebudayaan barat yang mengembangkan cara berpikir rasional sekuler. Kebudayaan rasional sekuler ini ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pola pikir seperti ini pernah menjadi hal yang sangat berjasa dalam kejayaan islam. Kala itu filsafat kembali merasuki dunia Islam, sehingga nalar rasio kaum Islam tergugah. Saat itulah Islam mengalami kejayaan. Kebebasan nalar ini membawa kemajuan berpikir ilmiah dan teknologi, sehingga saat itu muncul banyak ilmuwan muslim. Akan tetapi, kebebasan bermain dengan rasio, agaknya menjauhkan identitas diri sebagai muslim yang ber-Tuhan-kan Alloh SWT. Kenyataan ini dapat dilihat dewasa ini, di mana terjadi kehampaan religiuitas dalam jiwa manusia. Hidup seakan bukan ber-Tuhan Alloh, namun lebih pada materi keduniaan. Kedua, kebudayaan-kebudayaan timur pada umumnya. Pada masa pra-ilmiah kebudayaan-kebudayaan timur umumnya bersendi pada pemikiran religius-mistis dan penghayatan mistik yang dominan. Pemikiran ini berlawanan dengan tuntutan budaya modern yang mengedepankan pemikiran rasional. Pola pikir seperti ini pernah dialami oleh Islam ketika masa-masa dimana hampir semua orang mengagungkan kemistisan, atau dengan kata lain, orang hampir melupakan dunia, dan mengutamakan kedekatan dengan Tuhan. Masalah ketauhidanlah yang paling penting dan utama. Akibatnya saat itu peradaban Islam sangat ketinggalan jauh dengan bangsa-bangsa lain. Salah satunya karena tidak mau menerima sesuatu yang baru dan mempertahankan kepercayaan yang secara turun-temurun diikuti. Kini pemikiran religius-mistis ini terpinggirkan oleh cara berpikir rasional. Ketiga, pemikiran yang rasional-religius, khususnya kebudayaan Islam yang asli atau Islam rasional. Tugas nalar manusia adalah memahami, menafsirkan dan mengembangkan kebudayaan Islam sesuai dengan kemajuan peradaban umat manusia dengan jalan ijtihad.
            Dalam buku ini terdapat ungkapan St. Takdir Alisjahbana bahwa budaya nasional Indonesia yang akan datang harus dibina atas dasar pemikiran yang rasional. Beliau bukan kebarat-baratan, karena dalam analisisnya beliau menemukan bahwa Islam adalah agama yang paling rasional-religius yang akan mampu mendorong pengembangan ilmu dan teknologi seperti halnya budaya barat. Ilmu pengetahuan modern memperkenalkan pendekatan ilmiah bagi umat Islam untuk menemukan ajaran Islam yang sebenarnya, bukan hanya Islam sebagai produk sejarah yang telah tercemari unsur-unsur budaya lokal. Karena itu, setiap orang bisa mengkritisi sejarah perkembangan pemahaman agamanya melalui Al-Quran dan hadis. Sudah saatnya Islam untuk meraih zaman pencerahan dalam memahami dan mengamalkan agama, yaitu zaman kebangkitan penalaran dan kembali ke wawasan Islam rasional. Zaman tradisionalisme Islam harus berlalu, menuju zaman baru yang serba transparan dan pencerahan yang mengarah kepada kejayaan Islam dan kemajuan di masa mendatang.
            Islam sebagai sebuah agama, budaya, dan peradaban dalam lintas sejarahnya telah membuktikan dirinya dapat eksis melalui adaptasi, akulturasi, termasuk sinkretasi dengan budaya dan peradaban di mana Islam datang, berkembang, dan maju pesat seperti di Indonesia. Puncaknya Islam dapat diterima dan diakui sebagai sebuah agama yang rasional, progresif, dan sesuai budaya Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya.

Resensi oleh    : Ahmad Hawin Ibnu Salam (09410189)
           

2 komentar:

  1. setelah membaca resensi penulis diatas (pemposting), mengenai Islam dan Pergumulan budaya Jawa. kira-kira bagaimana pandangan penulis dengan perayaan Skaten yang dilakukan tiap tahun di Yogyakarta?? apakah budaya Skaten itu sendiri masih sesuai dengan budaya Skaten yang dulu.??
    kedua, jika tidak, kita-kira apa yang bisa dilakukan khususnya tanggapan dari penulis terhadap perubahan tersebut, agar hukum syar'i Umat Islam di Jawa tetap terjaga keotentikannya??

    by:Risman munawar (09410175)

    BalasHapus
  2. rasional-religius sepertinya pantas bagi kaum muslim saat ini..
    rasionalitas harus berkembang, namun nilai-nilai religiusitas tidak boleh ditinggalkan..

    Yhulis (09410043)

    BalasHapus