Jumat, 30 Maret 2012

RESUM BUKU


Nama :  Della Herawati
NIM :  09410052
Kelas :  PAI B
RESENSI BUKU
Judul Buku :  Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis
Penulis :  Dr. Faisal Ismail, MA
Penerbit :  Yogyakarta, Titian Illahi Press
Tahun Terbit :  1998
Hal :  202 hlm ; 21,5 cm
  Buku yang berjudul Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Krisis dan Refleksi Historis dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisi tentang kajian agama dan kebudayaan dan hubungan antara keduanya. Dari keduanya jelas dimana letak bagian-bagian yang membedakannya. Dibagian ini juga ada kajian kritis tentang tulisan-tulisan kebudayaan yang diajukan Sidi Gazalba. Salah satu keunikan Gazalba adalah bahwa ia dapat menyajikan uraian tentang Islam dan kebudayaan dengan bahasa yang lincah, bersih dan segar. Suatu gaya yang jarang ditemukan pada banyak pengarang muslim lain seangkatannya.
 
Bagian kedua, menyoroti secara umum potret kebudayaan Islam di Indonesia. Bagian ini menyajikan pemaparan analisis terhadap timbulnya krisis-krisis di bidang pendidikan dan kebudayaan yang di hadapi umat Islam. Penyair dan dramawan WS Rendra mengemukakan suatu analisis bahwa salah satu krisis yang cukup memprihatinkan yang terjadi dikangan umat Islam Indonesia adalah “mereka kurang bersahabat” dengan ilmu pengetahuan. Akibat dari keadaan semacam ini tak pelak lagi akan bermuara pada kenyataan, bahwa prosentase intelektual muslim di Indonesia tak sebanding dengan jumlah umat Islam. Situasi perlu jalan keluar yaitu melakukan kajian ulang terhadap stategi kebudayaan; mengkaji pendidikan secara menyeluruh dan komprehensif-sejak dari pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
 
Bagian ketiga membahas perihal subordinasi agama terhadap kesenian atau sebaliknya; apa pula akibat yang kan terjadi jika hal ini dilakukan. Ada juga yang membahas tentang bagaimana seharusnya seniman muslim memandang, menghayati, mendekati dan menafsirkan Tuhan. Pada bagian ini penulis merefleksikan kembali pengalaman bergaul dengan seorang seniman.
 
Bagian keempat membahas mendiskusikan tentang Islam dalam kaitannya dengan moralitas dan moderitas. Dimana posisi Islam mulai bergesekan dengan nilai-nilai moral yang terjadi di dunia Barat. Penulis berpendapat bahwa moral yang ada di Islam tidak memerlukan redefinisi dalam menghadapi arus “moralitas baru” dari Barat. Bagian inilah dikaji pendirian kaum muslim dan wawasan Islam berhadapan dengan isu-isu sentral yang bertalian dengan moderisasi.
 
Bagian kelima diawali dengan sketsa sejarah kebangkitan kebudayaan Islam (abad 8 hingga 13M). setelah menikmati masa kejayaan selama kurang lebih lima abad, umat Islam-Arab dan kebudayaannya runtuh. Kepeloporan di bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan beralih ke tangan Barat. Bagian ini juga mengkaji tentang refleksi historis, bahwa Islam dan umatnya cukup melakukan peluang untuk melakukan gerakan revivalisme dan reformisme; menciptakan karya yang segar dalam kebudayaan sebagi basis spiritual dan cultural untuk menopang proses akselerasi kebangkitan umat Islam.

Kamis, 29 Maret 2012

Review Buku " Kritik Seni Wacana Apresiasi dan Kreasi"


Nama                           : Ridwan Sularjo
NIM/Kelas                  : 09410096 / B
Mata Kuliah                : Pengembangan Budaya dan Seni Dalam Islam
Dosen Pengampu        : Nur Saidah, S.Ag

Kritik Seni Wacana Apresiasi dan Kreasi
Karya Dr. Nooryan Bahari, M. Sn.
Kritik seni dalam bahasa Indonesia juga disebut dengan istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni”, atau “bincang seni”. Semua ini dikarenakan ada istilah “kritik” yang semua orang beranggapan bahwa kata “kritik” itu merupakan kata yang berkonotasi negative, seperti ketika orang melakukan kritik kepada orang lain. Pasti maksud yang diutarakan orang tersebut berkonotasi negative (menghujat, mengecam, mencela, dll), intinya anggapan orang tentang kritik itu selalu negative. Tetapi dalam seni kata “kritik” itu merupakan suatu kegiatan yang membangun, yaitu mengevaluasi dan mengevaluasi karya seni. Kritik seni betujuan menghantarkan kita untuk memahami apa yang melatar belakangi suatu karya seni dihasilkan, serta memahami pesan apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya.
Dalam memahami ini, dilakukan dengan dua pendekatan, yatu pendekatan intraestetik dan ekstraestetik. Pendekatan intraestetik  yaitu factor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni (unsure struktur, bentuk, dan lainya) dengan criteria yang ditetapkan secara universal oleh para ahli seni. Dalam pendekatan intraestetik dilakukan dengan memandang objek utama atau karakteristik materialnya. Seghingga masalah kecakapan dalam mengolah bentk dan keterampilan teknis dari pembuat karya seni menjadi perhatian yang utama. Selanjutnya, pendekatan ekstraestetik yaitu factor-faktor yang berada diluar bentuk fisik karya seni, seperti: factor social, budaya, ekonomi, teknologi, realigi, dan pendidikan dari seniman serta pemakai seni.
Dalam kritik seni, ukuran penilaian bisa dilakukan secara general atau nongeneral. Penilaian general yaitu penilaian sebuah karya seni harus didasarkan pada analisis unsure-unsur karya seni tersebut secara terpisah-pisah, seperti: komposisi, proporsi, perspektif, garis, warna, corak, dll. Selanjutnya untuk penilaian nongeneral yaitu menilai menilai karya seni tidak secara terpisah-pisah. Karena karya seni dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisis atas unsure demi unsure. Hal itu supaya makna makna dan nilai sebagai karya seni tetap utuh.
Dalam memahami seni tidak lepas dengan yang namanya kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan bentuk dari keseluruhan pola tingkah laku, baik secara eksplisit maupun implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui symbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam bentuk materi. Istilah kebudayaan sangat bervariasi, dalam bahasa inggris istilah “kebudayaan” berasal dari kata benda bahasa latin colore yang berarti bercocok tanam, produksi, pengembangan, atau perbaikan tanaman yang khusus. Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari kata budhi (budi atau akal) dan kadangkala ditafsirkan perkembangan kata majemuk “budi-daya”, yang berarti daya dari budi, berwujud, cipta, rasa dan karsa. Pengertian kebudayaan disini adalah sebagai keseluruhan pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk social. Kebudayaan berisi system makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbul-simbul yang ditransmisikan secara historis.
Istilah seni yang kita pahami sekarang berbeda dengan istilah seni sebelum perang dunia ke-II. Istilah seni dipakai dalam kehidupan sehari-hari dengan sebutan kecil atau halus. Menurut I. G. Sugriwa, secara etimologi kata seni diduga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya penyembahan, pelayanan, dan pemberian. Padmapuspita sebagai orang yang ahli dalam bahasa sansekerta menyangkal pendapat sugriwa tersebut, ia menyatakan bahwa didalam bahasa sansekerta tidak terdapat kata seni. Padmapuspita justru malah menunjukkan istilah seni berasal dari bahasa belanda genie. Pengertian seni adalah suatu keterampilan yang diperoleh dari pengalaman, belajar, atau pengamatan, pengamatan. Seni juga berarti suatu perencanaan yang mahir dan menyatakan kualitasnya dengan baik, serta merupakan unsure-unsur yang ilustratif atau menghias dalam barang cetakan.
Dalam buku estetika dibicarakan bahwa dalam memahami seni dapat dilakukan melalui pendekatan filosofi, psikologi, dan sosiologi. Secara filosofi berbicara mengenai seni bertujuan untuk mengetahui perangkai dasar, tolok ukur dan nilai-nilai seni. Secara psikologi bermaksud membicarakan aktifitas menghayati, mencipta dan menelaah seni. Sedangkan secara sosiologi pembicaraan seni menyoroti masalah yang berkaitan dengan public, peran social seni, dan lingkungan sekitar. Dari beberapa uraian diatas, tampak bahwa seni terkait dengan sebuah kegiatan mencipta dala arti luas. Seni dapat dikonsepsikan sebagai kegiatan meniru alam, kegiatan bermain-main dengan bentuk seni. selain sebagai kegiatan atau perbuatan, seni juga dapat dipadankan dengan cara kerja atau metode, dan teknik ketukangan. Karya seni rupa dapat digolongkan dari berbagai sudut pandang seperti sudut pandang fungsi atau kegunaannya, dimensi, medium yang digunakan, gaya penciptaan, dan aspek kesejarahan.
Didalam melakukan kritik seni rupa diperlukan pengetahuan mengenai medium seni dalam pengertian luas yang meliputi isi dan tema karya seni, dan dalam pengertian terbatas mencakup bahan baku yang digunakan mengungkap isi dengan kelebihan dan kekurangan bahan tersebut dalam mengungkapnya. Melalui medium karya seni akan memperoleh wujud yang kongkrit atau lahiriah, berdasarkan sifat-sifat lahiriah inilah yang memungkinkan penikmat dapat memahami gagasan yang hendak dikemukakan oleh penciptanya.
Latar belakang budaya dan sejarah merupakan modal dasar yang diperlukan dalam kritik seni, karena dalam kemunculan karya seni rupa banyak sekali gejala baru yang terus mengikuti perkembangannya. Sehingga dalam memahami karya seni harus memahami sebab-akibat yang menimbulkan gejala-gejala sebelumnya, karena itu akan berpengaruh pada besar kecilnya penilaian terhadap karya seni.
Selain berdasarkan latar belakang, instrument yang diperlukan dalam kritik seni yaitu mengenai corak seni yang terdapat pada seni rupa tersebut. Seperti, pengetahuan mengenai aliran-aliran dalam karya seni. aliran karya seni dalam arti luas mencakup kecenderuangan isi dan tema karya seni yang ada diduniadalam pengertian sempit, corak seni mencakup kecenderungan pada aliran-aliran seni didunia. Seperti, gaya barok, gaya rokoko, naturalism, realisme, romantisme, impressionisme, ekspresisme, fauvism, suprematisme, kubisme, futurism, dadaisme, surealisme, abstraksionisme, kontruktifisme, minimalisme, op art, pop art dan lain-lain.
Setelah memahami terhadap karya seni, langkah selanjutnya memberikan apresiasi terhadap karya seni, apresiasi seni merupakan sebuah proses untuk menafsirkan sebuah makna yang terkandung dalam karya seni. apresiai, menuntut keterampilan dan kepekaan estetik untuk mendapatkan pengalaman estetik ketika mengamati karya seni rupa. Apresiasi bukanlah sebuah proses aktif dan kreatif, agar secara efektif mengerti nilai suatu karya seni, dan mendapatkan pengalaman estetik. Seorang pengamat seni yang sedang memahami karya seni sebaiknya terlebih dahulu mengenal struktur bentuk karya seni, pengorganisasian elemen seni rupa atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang dihayati.
Dalam memberikan apresiasi terhadap seni, kita terlebih dahulu menentukan criteria dan tipe kritik yang akan kita gunakan untuk kritik seni. karena semua karya seni yang dibuat pasti ada standar dan kriterianya sendiri-sendiri. Standar kesenian masa lalu tidak dapat diterapkan pada masa sekarang, karena konteks waktu suasananya yang sudah berbeda, demikian pula sebaliknya, standar sekarang tidak bisa digunakan untuk kritik karya seni yang dulu. Hal ini disebabkan karena karya seni memiliki ukuran yang berbeda, untuk sebuah karya yang realistis, ukuran yang digunakan berbeda dengan ukuran karya nonrealistic. Ketika kita ingin meneliti karya seorang seniman, maka terlebih dahulu harus dapat menentukan kaitan antara seniman dan standar zamannya.
Ketika kita menghadapi karya seni, kita tinggalkan segala ajaran penilaian estetika yang pernah kita pelajari dan kita harus menyingkirkan segala prasangka yang ada pada pikiran kita. Sehingga kita didepan karya seni dalam keadaan yang serba tidak tahu, atau pikiran kita kosong. Metode yang kita gunakan disaat itu adalah dengan menyisihkan atau mensortir dan membuang informasi-informasi yang tidak bermanfaat.

resensi buku ritual islam dan tradis islam jawa


Nama: Ahmad Mubarok
Nim : 09410002
Judul Buku             : Ritual & Tradisi Islam Jawa
Penulis                   : K. H. Muhammad Sholikhin
Penerbit                  : Narasi Yogyakarta
Cetakan                 : I,  2011
Tebal                      : 498 halaman
Tradisi Islami Jawa
Keberhasilan syiar agama di suatu daerah, tidak hanya ditentukan oleh kualitas ajaran agama itu sendiri, tetapi yang lebih penting, bagaimana ajaran itu disampaikan kepada calon pemeluknya. Di Indonesia, syiar agama termasuk proses yang unik, menarik sekaligus cukup dinamis. Meski sudah berlangsung berabad-abad lamanya, toh masih meninggalkan sejumlah persoalan sampai saat ini.
Sebagai masyarakat komunal, yang salah satu cirinya ditandai dengan kekhasaan nilai-nilai lokal, membuat masyarakat ini sulit menerima kebiasaan maupun ajaran-ajaran yang datang belakangan. Keyakinan lama tidak lantas tergantikan oleh ajaran baru. Justru yang sering terjadi adalah perpaduan beragam nilai, tanpa disadari membentuk bangunan baru.
Termasuk pula konteks Islam dalam masyarakat Jawa. Pada kenyataannya, pertautan ini menghasilkan sebuah peradaban baru yang disebut Muslim Jawa seperti yang diistilahkan penulis buku ini. Berbagai pandangan terhadap akulturasi ini pun dilontarkan. Ada yang setuju, namun banyak juga yang menolak. Buku ini mengulas kesamaan cara pandang dan tujuan masyarakat Jawa, terutama yang diekspresikan melalui ritual-ritual  tertentu, dengan ajaran keislaman meski tidak secara spesifik menyebut Jawa yang dimaksud, namun sebagai referensi umum, buku ini patut untuk disimak.
Ada empat pokok bahasan yang ditulis di buku ini yakni; Siklus kehidupan manusia dan ritual tradisi Islami terhadapnya, ritual dan tradisi Islami terkait dengan kehamilan dan kelahiran masyarakat muslim Jawa, tradisi Islami terkait dengan perkawinan masyarakat muslim Jawa. Terakhir, prosesi kematian dalam tradisi Islami di Jawa. Di awal tulisan, diulas bagaimana pertautan antara Islam dan budaya lokal Jawa.
Dijelaskan bahwa syiar Islam pada prinsipnya selalu menyikapi tradisi lokal masyarakatnya, yang sebagian di antaranya dipadukan menjadi bagian dari tradisi Islami. Prinsip itu didasarkan atas suatu kaidah Ushulliyah, yang berbunyi; “Menjaga nilai-nilai lama yang baik, sembari mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.”
Islam sendiri menganut suatu fikih yakni pengakuan terhadap hukum adat. Hukum adat yang dimaksud adalah adat jama iyyah yakni suatu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang secara berulang-ulang. Namun jika masih dalam bentuk adat fardliyah atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang tetapi oleh personal orang belum bisa dijadikan sumber penetapan hukum. Hal ini sekaligus juga menegaskan bahwa Islam cukup kooperatif dengan fenomena serta dinamika kebudayaan. Proses asimilasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan istilah Ritual dan Tradisi Jawa Islami.
Ada banyak ritual Jawa yang dipaparkan dalam buku ini. Bahasa antropologis itu dijelaskan penulis melalui pendekatan tafsir agama. Di antaranya ia menjelaskan makna “sesaji” sebagai bentuk ekspresi ungkapan syukur dan pendekatan diri kepada Tuhan dengan harapan dijauhkan dari kekuatan-kekuatan negatif. Mengenai sarana yang digunakan dalam kebanyakan ritual misalnya kemenyan, menurut penulis, tak lain hanyalah bagian dari media.
Jika kemudian banyak Muslim yang menganggap kemenyan sebagai bagian dari ritual mistik adalah sesuatu yang wajar, mengingat juga sering digunakan untuk praktik-praktik musyrik. Pada dasarnya, pembakaran kemenyan dalam banyak ritual masyarakat Jawa merupakan usaha untuk mempermudah pencapaian khusyu (tahap hening) dan tadharru (mengosongkan diri), karena zat yang terkandung dalam kemenyan ketika dibakar, menghasilkan bau yang cukup merangsang sekaligus bersifat aromaterapis.
Ritual lainnya yakni, upacara Ngapati atau disebut juga Ngupati. Ritual 4 bulan masa kehamilan oleh masyarakat Jawa ini, ditandai dengan upacara pemberian makan yang salah satu menunya adalah ketupat. Agaknya ritual ini pun tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Muslim di Asia Tenggara. Dalam Islam, ritual Ngapati didasarkan atas hadits yang berbunyi; “Bahwa pada masa usia 120 hari dari kehamilan atau 4 bulan, maka Allah meniupkan roh kepada janin dalam kandungan. Sementara ruh ditiupkan, pada saat itu ditentukan juga rezeki dan ajalnya.”
Tiga bulan kemudian tepatnya di usia kandungan 7 bulan juga diadakan ritual yang oleh masyarakat Jawa disebut Mitoni atau Tingkepan.  Dipilihnya bulan ke-7 masa kehamilan disebabkan karena bentuk bayi pada usia itu sudah sempurna. Bentuk upacaranya sama dengan Ngapati yakni berupa sedekahan dan penyampaian doa-doa agar bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Banyak ritual Jawa lain yang dibahas secara Islami dalam buku setebal 500 halaman ini. Selain kaya dengan falsafah Jawa Islami, buku ini menarik karena mengurai fenomena dinamika keseharian masyarakat Jawa Islami. Bahkan buku ini tidak sekadar membahas ritual-ritual Jawa Islami, tetapi aspek yang lebih universal dalam pandangan Islam.
Sepertinya buku ini ditujukan sebagai bacaan sederhana, dimana kenyataan sehari-hari, terutama yang dilakoni masyarakat Jawa Muslim dijelaskan berdasarkan sumbernya, baik menurut pandangan adat maupun Kitab Suci Alquran.
Karenanya, membaca buku ini pada dasarnya, membaca tiga buku yang dirangkai menjadi satu, masing-masing Antropologi  Jawa, Tafsir Alquran dan Pandangan Islam terhadap Kebudayaan Jawa. Pada kesimpulannya, buku ini turut memperpanjang barisan pemikiran-pemikiran Islam yang demokratis, Inklusif-Pluralis.


resensi buku


MAISAROH
09410082
Judul Buku      : Seni Dalam Peradaban Islam
Pengarang       : M.Abdul Jabbar Be. M.A.,Ph.D
Penerbit           : Pustaka  Bandung
Tahun Terbit    : 1988
KEINDAHAN MENURUT AL-GHAZALI
Tulisan ini dibuat sebagai sumbangan kecil di lapangan ilmiah. Tulisan ini tidak lebih dari suatu ikhtisar yang sistematis. Meskipun demikian, sumber yang dipergunakan di sini sungguh penting untuk mnegantar kearah pemahamantentang sikap zaman pertengahan terhadap keindahan. Dalam ulisan al-Ghazali, kita mesti menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang sufi ia tidak mempunyai minat khusus terhadap seni. Perhatiannya terutama tertuju kepada hakekat alam rohaniah, sedangkan keadaan yang bersifat material pada umumnya hanya di singg ung sejauh hal itu penting bagi tubuh. Kendaraan bagi jiwa dalam perjalanannya menuju akhirat. Ia menyatakan “hanya ada tiga kebutuhan material yang pokok: sandang, pangan, papan.
Sangat kecil sekali kemungkinannya bahwa suatu kali lita dapat menemukan pernyataan seni rupa yang terperinci dalam karya-karya al-Ghazali. Ia selalu memandang masalah itu dari sudut pandangan yang teologis. Meskipun sejauh ini al-Ghazali nampak tidak memberikan suatu peranan yang aktif terhadap seni dalam sistem keagamaan, tetapi ia sepenuhnya menyadari peningnya keindahan dan hal-hal yang ilmia. Salah satu dasar yang sring diulang dalam kalimat-kalimat pengkajiannya, adalah satu hal, ketika ia bicarakan tentang hubunagn antar cinta dan kesenangan: “ setiap yang dilihat yang membari kesenangan dan kepuasan cinta oleh orang yag melihatnya”.
Dengan dasar pendapat demikian, maka wajarlah apabila al-Ghazali menarik kesimpulan bahwa segala sesuatu yang indah itu dicinta, karena keindahan itu memberi kesenangan. Sebagaimana yang nampak kamudian, bahwa keindahan itu seiring dengan kesempurnaan. Obyek cinta yang paling utama bagi setiap makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan egonya. Cinta diri ini menjelmakan dorongan untuk menjaga keberadaan dirinya dan ketidakrelaan melihat dirinya yang rusak dan menderita. Cinta diri dalam pengertian yang luas bukanlah sekedar cinta pada anak, sanak kerabat dan sahabat-sahabat, tetapi juga pada milik pribadi.
Selanjutnya al-Ghazali memberikan kepada kita suatu sudut pandangan lain tentang cinta kepada keindahan yang bukan berasal dari cinta diri tetapi berasal dari keindahan itu sendiri. Penyebab cinta yang lain adalah ketika seorang mencintai sesuatu untuk sesuatu itu sendiri, dan bukan karena keuntungan yang ia harapkan memperolehnya melalui sesuatu itu. Dari pemikiran ini, selanjutnya penulis menujukkan bahwa keindahan tuhan mengarahkan seseorang untuk mencintai dia.
Al-Ghazali menantang pendapat bahwa keindahan hanya terbatas pada apa yang dapat dilihat mata atau apa yang semata berkenaan dengan keselarasan tubuh manusia dan warna muka yang indah. Dalam langkah selanjutnya, al-Ghazali menemukna penyebut umum bagi beragam jenis keindahan dalam bermacam contoh yang telah ia rekam secar acak. Tetapi pada akhirnya, al-Ghazali memberikan inti pemikirannya ini dalam catatannya yang mengatakan: keindahan dari suatu hal terletak pada penampakan kesempurnaan yang dapat dilihat, dan sesuai dengan fitrahnya. Apabila seluruh kemungkinan sifat kesempurnaan terdapat dalam suatu obyek, maka obyek itu menjelmakan tingkat keindahan tertinggi apabila hanya terdapat sebagian saja maka obyek itu memiliki ukuran keindahan dalam tingkat kesempurnaan tertentu.
Terlepas dari nilai keindaha yang dapat diterima dengan kelima indera kita, al-Ghazali menyebutkan adanya indera keenam yauti jiwa juga disebut roh, hati, dan akal, cahaya yang menerima keindahan dunia dalam yang bersifat rohani, moral, dan nilai keagamaan. Visi dalam lebih kuat dari pada visi luar, hati lebih peka dalam melakukan perencanaan daripada mata. Dan keindahan obyek yang ditangkap melalui akal, lebih tinggi daripada keindahan bentuk luar yang nampak oleh mata.  Barang siapa tidak memiliki visi dalam, ia tidak dapat menangkap bentuk dalam, dan ia tidak dapat memperoleh kesenangan daripadanya. Cintailah dia dan bergeraklah kea rah itu.
Terdapat perbedaan yang besar antara seorang yang mencintai gambar lukisan di dinding hanya karena keindahan yang luarnya. Dan seseorang yang mencintai Nabi dikarenakan keindahan bentuk dalamnya. Pada akhirnya cinta kepada dunia luar yaitu dunia wujud secara moral bersifat netral, karena hal itu merupakan suatu cinta yang alamiah, sekedar dorongan jiwa. Karaya yang indah dari seorang penulis, syair yang sublime dari seorang penyair, lukisan atau bangunan karya arsitek, menampakkan keindahan dalam menusia itu.
Menurut al-Ghazali keindahan dalam orang yang bertakwa terletak pada tiga prinsip dasar pertama pengetahuan, kedua daya kesanggupan dan yang ketiga kamulian yang dapat mengatasi kesalahan dan kekurangan dan segala kecenderungan jahat. Semakin sempurna manusia ini semakin besarlah ia dicintai. Karena pengetahuan, daya kesanggupan dan kemulian yang mengatasi kesalahan hanya dapat ditemui secara sempurna pada Allah, dank arena manusia memperoleh bentuknya dia. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa cinta yang berasal dari ungkapan keindahan dalam seniman yang sempurna, mengarah kepada Allah. Mereka yang mempelajari susunan tubuh manusia hanya untuk menjadi dokter. Ilmu kedokteran betapapun tidak penting dan meskipun sangat perlu tidak berhubungan langsung dengan ibadah kepada tuhan. Maka bagi mereka yang bermaksud menyaksikan keajaiban pekerjaan tuhan pada tubuh manusia akan dinampakkan tiga sifat tuhan pertama mereka dapat menyaksikan bahwa yeng membuat tubuh ini adalah yang maha kuasa, kedua mereka dapat melihat bahwa pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, karena segala keajaiban benda-benda dengan segenap kepemilikikannya tidak mungkin ada, ketiga  mereka dapat menyaksikan bahwa sifat-sifat pengasih, penyayang, pengampun dan pemurah.
Oleh karena itu al-Ghazali menasihatkan tidak ada akal manusia yang dapat memikirkan tentang bagaimana dan apa dzat Allah yang maha mulia itu, tidak ada hati manusia yang berhenti dari memandang ciptaan-Nya yang ajaib dan merenungkan terhadap apa dan kepada siapa kehidupannya tergantung. Segala sesuatu yang ada mempunyai hubungan yang sama dengan kekuasaan Allah. Dengan begitu jelas bahwa bagi al-Ghazali, keindahan tidak dapat dipisahkan dari gagasannya tentang ketuhanan dan khususnya mengenai cinta kepada tuhan. Visi luar ini berdasarkan pada prinsip-prinsip estetis, seperti Nampak melalui kriteria yang ia sebut terhadap kaindahan suatu tulisan. Karena itu, kita tidak dapat mengabaikan bahwa disamping penekanannya yang kuat terhadap keindahan dalam dan visi dalam, pengkajian al-Ghazali juga menunjukkan dua pendekatan terhadap seni yaitu pendekatan yang beranjak dari mata dalam dan mata luar, yang bersifat religious dan yang lain bersifat sekular.   

Rabu, 28 Maret 2012

REVIEW BUKU

Nama                          : Barid Muntaha
NIM/Kelas                 : 09410106 / B
Mata Kuliah               : Pengembangan Budaya dan Seni Dalam Islam
Dosen Pengampu       : Nur Saidah, S.Ag


Review buku Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Dr Kuntowijoyo. Mizan, Bandung, 1994

Pada bab 1 membahas tentang Transformasi Kehidupan Agama dan Organisasi-organisasi Islam: Perspektif Asia Tenggara.
 Di mana di Asia Tenggara mayoritas kaum muslim terus kehilangan banyak peluang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditawarkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat mereka. Kebangkitan Islam sendiri mengalami banyak problem. Masalah-masalah mengenai tradisi dan modernitas, urbanisme, industrialisme, keadilan dan kesamaan sosial mendominasi pemikiran para intelektual Muslim.
Organisasi sosial keagamaan sebagai perwakilan dari aliran reformis di Indonesia diantaranya Muhammadiyah, Persatuam Islam (Persis), dan Al-Irsyad. Wakil dari aliran Syafi’i diantaranya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (perti). Sementara wakil dari aliran yang lebih elektik adalah Nahdatul Ulama (NU) yang mengaku menganut keempat mazhab fiqih. Semua pergerakan Islam ini pada dasarnya menggunakan mahzab Syafi’i sebagai basis dari praktik peribadatan mereka.
Gerakan pendidikan dan dakwah di Indonesia dengan sistem pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan sejak permulaan abad ke-20, yakni dengan tipe pendidikan Islam model Pondok Pesantren. Yang selanjutnya dengan sistem pendidikan Madrasah dengan kurikulumnya menggunakan pengetahuan umum yang sebelumnya pada Pondok Pesantren hanya dengan model Sorogan (belajar sendiri).
Dalam sub bab Islam dan Intregasi Nasional membahas tentang kaum Muslim di negara-negara ASEAN baik mereka minoritas maupun mayoritas harus menghadapi tantangan abad ke-20 yakni munculnya negara-negara bangsa. Karena alasan-alasan historis yang jelas, posisi mereka pada masa pasca kolonial, secara ekonomis pendidikan dan politik sangat tidak menguntungkan. Segmen-segmen komunitas yang telah termodernisasikan  atau terbaratkan muncul menjadi elit-elit yang berkuasa ketika kekuasaan kolonial telah meninggalkan negara mereka, sehingga mereka harus merebut kedudukan-kedudukan di birokrasi, perekonomian, dan kebudayaan.
Pada bab 2 membahas tentang Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-1950: Sebuah Pencarian Identitas.    
Yang mana golongan menengah Muslim telah menjalani proses evolusi, dari identitas sebagai massa menjadi umat, dan akhirnya warga negara. Latar belakang sejarah kaum santri sangat mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan dan bahwa ketegangan dan pertentangan agaknya tak dapat dihindarkan untuk sebagian dari mereka. Bahkan dalam masa kini sifat mendua dari kaum santri masih tampak jelas dalam perbedaan antara yang berasal dari desa dan kota, antara golongan menengah pedagang dengan petani. Kebudayaan politik kaum santri merentang dari peserta ke subjek politik, dari sikap membangkang ke sikap tunduk. Namun keikutsertaannya dalam politik menghasilkan ketegangan antara kaum Muslim dengan penguasa, suatu hal yang mengingatkan kita pada tradisi pertentangan antara kaum santri dengan kaum priyayi. Faktor lain yang ikut menimbulkan ketegangan ialah kepentingan ekonomi dari golongan menengah Muslim yang sampai saat ini selalu terancam oleh kapitalisme Cina.
Sejarah keterlibatan golongan Islam dalam kegiatan politik juga menyangkut kepentingan kelas di mana baik kaum santri golongan menengah pedagang dan warga kota maupun kaum santri golongan petani tampaknya mempunyai pandangan politik yang berbeda. Politik revolusioner SI, sikap non-politik NU dan Muhammadiyah serta radikalisme kelompok santri yang tersisih memberikan memberikan evolusi selama empat dasawarsa.
Definisi tentang umat masih merupakan masalah bagi kepemimpinan Muslim dalam kaitannya dengan konsep masyarakat tertutup atau terbuka. Keikutsertaan dalam kegiatan politik tetap menimbulkan masalah. Tradisi demokrasi di kalangan santri kota bertolak belakang dengan tradisi otoriter di kalangan santri desa. Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa berganti-ganti meraih yang satu dan mencampakkan yang lain. Tetapi kerap kali penguasa lebih suka meraih kaum santri yang berkebudayaan otoriter tradisional dari golongan menengah petani dan menjadikannya menjadi kawan politik. Pelaksanaan jiwa kewarganegaraan masih harus melalui jalan yang panjang untuk golongan Muslim dan untuk umumnya rakyat Indonesia mungkin merupakan proses yang tak kunjung selesai. 
Pada bab 3 membahas tentang Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan Tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950.
Angkatan Oemat Islam (AOI) didirikan sekitar September- Oktober 1945. Sebagai gerakan kelasykaran, sudah banyak dalam melakukan usaha-usaha menghadapi militer Belanda antar 1945-1950 di Kebumen. Gerakan ini tidak akan menarik perhatian kalau pada akhirnya yaitu 1 Agustus 1950 tidak tercatat sebagai pemberontak. Lebih dari segalanya kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan semata-mata suatu badan kelasykaran, tetapi suatu pergerakan sosial, lebih te[atnya pergerakan sosial yang abortif, karena gagal mencapai sasaran pergerakannya.
Dalam menyelesaikan problem sosial yang sebagian anggota masyarakatnya memisahkan diri sebaiknya diadakan sosialisasi. Suatu usaha dari dysnomia ke eunomia pasti tidak terjadi hanya dengan sebuah ultimatum. Seandainya suatu penyelesaian damai terlaksana niscaya jiwa dari 1500 hingga 2000 orang akan selamat dari kematian dan keretakan sosial selanjutnya dapat dihindarkan. Kini tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.
Bab 4 membahas tentang Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam: Melacak Asal-usul Ketegangan Antara Islam dan Birokrasi.
Desa Cebolek terletak di Tuban di kawasan pesisir Jawa Timur. Di sini selama kekuasaan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya, Paku Buwana II (1726-1749) hiduplah Haji Mutamakim. Dia menyatakan diri telah mencapai “kasunyatan” (esensi) yaitu “menjadi Muhammad”, menurut tradisi mistik Jawa sebagaimana yang dialami oleh Syekh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ki Bagdad, dan Syekh Amongraga. Dalam khutbah-khutbahnya ia menganjurkan untuk meninggalkan Syari’ah (hukum Islam) dan dengan demikian telah mengguncangkan fondasi komunitas Islam dan Negara.
Pada bab 5 membahas tentang Agama, Negara dan Formasi Sosial: Sejarah Alienasi dan Oposisi Islam di Indonesia. Pada bab 6 membahas tentang Visi Teologis Islam dan Problem Peradaban Modern. Pada bab 7 membahas tentang Cita-cita Transformasi Islam. Pada bab 8 membahas tentang Umat Islam dan Industrialisasi Indonesia: Kancah Pergulatan Baru. Bab 9 membahas tentang Setting Sosial Islam Indonesia: Sebuah Peta Situasi. Bab 10 membahas tentang Dimensi-dimensi Sosial Gerakan Islam di Indonesia. Pada bab 11 membahas tentang Islam dan Agenda Nasionalisme Baru: Refleksi Tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Bab 12 membahas tentang Pendekatan Evolusioner Atas Budaya Politik Umat: Sebuah Kilas Balik.
Partisipasi umat Islam dalam pengalaman politik senantiasa mengalami pasang surut, bergantung pada hubungannya dengan kekuatan politik dominan. Pengalaman itu menjadi pahit terutama karena evolusinya berlangsung parsial, yaitu ketika ia hanya melibatkan sebagian umat dan meninggalkan yang lainnya. Tiga karakteristik, kawula, wong cilik, dan warga negara muncul ke permukaan pada waktu yang seringkali bersamaan. Adalah sebagai tugas nasional dari bangsa dan umat untuk mengembangkan mentalitas warga negara, karena dalam masa depan negara industri yang sudah banyak diantisipasi akan muncul, yakni warga negara dengan nilai-nilai demokratis dan mentalitasmanusia merdeka, dan bukannya kawula yang diperlukan. Radikalisme wong cilik harus semakin dilihat dengan pandangan yang bijak bukan hanya dengan langkah-langkah keamanan tetapi dengan melihat secara mendalam ke latar belakangnya, ke pengalaman historis dan kondisi sosial ekonominya. Melihat radikalisme terutama sebagai pengaruh asing, misalnya karena pengaruh Revolusi Iran, adalah tidak bermanfaat. Radikalisme wong cilik itu bersifat pribumi. Pengalaman dengan kesadaran warga negara dan kelompok budaya politik partisipan dari umat mungkin masih terasa getir dan menyakitkan bagi kelas yang sedang berkuasa, tetapi itu adalah sesuatu yang terbaik yang patut dicermati pada tahun-tahun mendatang karena di situlah terletak kepentingan bangsa dan umat sekaligus.  
 Bab 13 membahas tentang Strategi Budaya Islam: Mempertimbangkan Tradisi. Bab 14 tentang Pembaruan Islam-Tionghoa: Tinjauan Dari Aspek Sosio-Kultural. Bab 15 membahas Peranan Pesantren Dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika. Bab 16 membahas tentang Gerakan Sosial Muhammadiyah: Adaptasi atau Reformasi?. Bab 17 tentang Sebuah Model Reaktualisasi: Lima Program Reinterpretasi. Bab 18 membahas Perlunya Ilmu Sosial Profetik. Bab 19 tentang Islam dan Kelas Sosial: Upaya Konseptualisasi. Bab 20 membahas Konsep Teoritis Ilmu Dan Konsep Normatif Agama: Kajian Perkembangan Budaya.
Pada bab 21 membahas tentang Intregasi Sains Sosial Dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan.
Perjalanan sejarah intelektual Islam di Indonesia sudah mencapai permulaan tradisi baru. Sejarah tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah urutan kronologis dari alam pikiran ideologis yang membentang sampai 1960an, disusul dengan anti-ideologis sekularisme 1970an, dan dilanjutkan dengan tradisi keilmuan pada dasawarsa 1980an semacam perkembangan dialektis dalam sejarah pemikiran. Munculnya tradisi baru ini diharapkan akan dapat memberikan makna pada perkembangan Islam yang lebih luas, memberikan kearifan kepada umat secara keseluruhan tidak saja kepada kelompok terbatas kaum intelektual. Proses pencerdasan masa itu sangat penting dalam pembentukan masyarakat Islam. Urutan iman, ilmu dan amal menjadi relevan dalam hal ini. Jika ilmu-ilmu sosial sudah mendapatkan pancaran dari iman, maka ilmu pada akhirnya harus diuji dengan amal. Moeslim Abdurrahman mengisyaratkan supaya ilmu-ilmu sosial Islam menjadi ilmu transformatif, mempunyai kemampuan untuk menkonstruksikan masyarakat. Ilmu sosial Islam juga ilmu profetik, artinya ilmu yang melaksanakan tugas-tugas kenabian. Masih banyak yang harus dikerjakan, diantaranya pendalaman filsafat ilmu dan metodologi. Untuk mendapatkan tempat terhormat sebagai ilmu, ilmu-ilmu sosial Islam harus mampu mempertahankan diri dengan filsafat dan metodologi.   
 Bab 22 membahas Paradigma Al-Quran Untuk Perumusan Teori. Bab 23 membahas tentang Paradigma Islam Tentang Transformasi Sosial. Bab 24 membahas tentang Kebijakan Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam.
 Bab 25 membahas tentang Historiografi Islam: Kurikulum Tentang Reedukasi Sejarah.
Pengajaran sejarah merupakan suatu bagian dalam pendidikan universitas. Pendidikan sebuah universitas Islam tidak dinilai oleh produk-produk akademisnya, tetapi oleh produk-produk manusianya. Sejarah mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pengetahuan manusia, bahkan lebih strategis lagi dalam proses Islamisasi, baik secara religious maupun secara sosial. Mata kuliah-mata kuliah yang diiktisarkan yang semuanya berkenaan dengan sujek-subjek Islam yang perlu dilengkapi dengan sejarah komparatif. Karena pendidikan berorientasi Islam bukan merupakan sebuah sistem yang tertutup, orang harus mengakui kontinyuitas dan universalitas peradaban manusia. Historiografi Islam harus menunjukkan bahwa masyarakat Muslim adalah sebuah entitas yang mempunyai kesadaran diri, yang tidak menerima peranan hanya sebagai objek, tetapi menjadi subjek. Historiografi Islam merupakan satu langkah maju untuk menyongsong kebangkitan umat.

TUGASKU "RESUME BUKU"

NAMA                   : Fajar Nur Rohmad
NIM                       : 09410087


BUKU  BERJUDUL
“PENDIDIKAN,  KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT MADANI  INDONESIA”
Prof.Dr. H.A.R  Tilaar, M.Sc.Ed
 PT REMAJA ROSDAKARYA BANDUNG 2002
                                                                             
A.    Kekuatan – kekuatan  global yang mengubah Dunia
        Dalam Era reformasi  masyarakat  Indonesia menginginkan  terwujudnya suatu masyarakat yang baru  yakni masyarakat yang terbuka, maju, dan modern  dan ingin meninggalkan pola-pola  kehidupan  masyarakat orde baru.  Hal ini tidak terlepas  dari perubahan – perubahan  besar yang tengah  terjadi dalam kehidupan  umat manusia memasuki  abad 21. Kekuatan – kekuatan global  yang melanda dunia dewasa ini  termasuk masyarakat  dan bangsa Indonesia  adalah sebagai berikut:
1.      Proses  demokratisasi
         Usainya perang dingin ditandai dengan lahirnya gelombang demokratisai. Akibat  gelombang ini mulailah timbul  kesadaran yang  semakin meningkat  terhadap hak-hak manusia  dan tanggung jawab  manusia dalam membangun  masyarakat sendiri.  Masyarakat menginginkan  suatu masyarakat yang terbuka, maju, dan modern  bukan masyarakat yang totaliter  yang menginjak-injak  hak asai manusia. Masyarakat  di seluruh  dunia dewasa ini  lebih jauh  lagi menginginkan  suatu demokrasi yang partisipatoris  yaitu meminta  rakyat  yang berkemampuan  untuk ikut serta  dalam membangun masyarakatnya sendiri. Pendidikan  gaya lama  yang menganggap peserta  didik seperti gentong diisi semuanya oleh pendidik atau yang oleh Paulo Fraire dikatakan dengan sistem bank, perlu diganti  dengan sistem pendidikan  yang dapat mengembangkan  kemampuan rakyat.
2.      Kemajuan Teknologi dan komunikasi  dan dunia terbuka  
          Kemajuan teknologi  komunikasi  telah  membabat batas – batas  yang mengisolasi manusia. Lahirlah  apa yang disebut   masyarakat yang terbuka (open society). Dimana terjadi lairan bebas aliran informasi, manusia, perdagangan, dan bentuk-bentuk dan aktivitas kehidupan global  lainnya yang menyatukan manusia.  Didalam proses tersebut tentunya  terjadi persinggungan antar- kebudayaan.  Munculah apa yang disebut kebudayaan  global  yang selain  mempunyai nilai-nilai  yang positif  juga mengandung  bahaya-bahaya yang laten.   Keadaan ini memerlukan  manusia yang tidak terlempar dari akar  kebudayaannya. Manusia harus berada dalam kehidupan yang nyata, ditengah-tengah  masyarakat  yang mempunyai  kebudayaan sendiri. Dunia yang terbuka  Telah menciptakan  apa yang disebut  dunia – tanpa batas.  Manusia  dewasa  ini hidup  di dalam  apa yang disebut  global village atau kampung global.  Kini  orang  berkata-kata  mengenai  perlu adanya global  Governance.  Artinya  bukanya  menghapuskan  keberadaan negara-negara  dengan pemerintahan masing-masing  tetapi yang diperlukan  ialah kesatuan  arah  di dalm  kehidupan umat  manusia  di palnet  dunia ini.  Oleh sebab pendidikan  merupakan bagian dari proses  memasyarakat dengan kebudayaannya yang kongkrit, maka pembentukkan  masyarakat  madani dengan sistem nilai  yang diwujudkan  tidak terlepas  dari konfigurasi nilai-nilai  yang terdapat dalam kebudayaan manusia. Masyarakat  madani global  akan tersusun  dari  masyarakat – masyarakat  madani local  dengan kebudayaannya masing-masing.

B.     Apakah Masyarakat Madani
       Dalam kesamaan  manusia  itu dimungkinkan   akan lahirnya kebudayaan. Dari  situlah manusia  dapat mempertahankan  eksistensinya dan bahkan  berkembang memebangun kehidupannya melalaui kerja sama dengan sesama manusia. Di dalam  bukunya  yang terkenal  The Study of Man (1936), Ralph Linton menguraikan  mengenai milik bersama  manusia di dalam masyarakatnya.  Linton mengungkapakan adanya  : Univerasal  yaitu inti  yang memberi bentuk  stabilitas dan kebudayaan. Inti dari Common  Core   dari suatu kebudayaan yang dimiliki  oleh semua anggotanya.
              Peranan pendidikan  dalam  membentuk  dan mengembangkan  kebudayaannya. Pendidikan memperkenalkannya   kepada peserta didik  nilai-nilai inti  dari kebudayaannya.  Dengan pengenalan  serta penghayatan  terhadap nilai-nilai  inti ini   masyarakat mengalami  disentregasi  atau  menjadi agresi-agresi  yang lepas.  Dengan pengenalan  dan penghayatan  terhadap nilai-nilai inti  ini maka peserta didik akan dapat mengadakan perubahan  pada pranata-pranta sosialnya sebagai  pendukung dari  nilai-nilai  dan kebijakan.  Dalam pembangunan masyarakat madani  kita lihat ada  komponen  berperan  yaitu individu  sebagai pelaku dan  di dalam masyarakat  dan kedua pranata-pranata  sosial yang menampung  nilai-nilai budaya  yang akan mengatur tujuan bersama. Pentingnya masyarakat madani  dalam rangka kelangsungan  hidup masyarakat, telah  menjadi  pokok pemikiran  para filosof  dan negarawan  termasuk yang dikaji  didalam ilmu politik.
         Banyak tokoh yang membahas tentang pengertian manusia  baik ilmuwan dari barat maupun islam serta membahas hubungan  antara hak-hak individu  dan negara  di dalam  kebudayaan  Islam. Masalah hubungan  antara individu  dan negara  juga merupakan bagian  dari pemikiran politik islam. Berbagai tokoh  yang membahas tentang hubungan hak individu dan negara anatara lain, Al- Mawardi, Al – Ghazali, Ibn Taimiyah, Ibn Khldun.  Organisasi merupakan  suatau kebutuhan  bagi kehidupan manusia. Ada empat  factor yang  dapat menjadi penghalang  lajunya evolusi  masyarakat
1.      Penindasan ekonomi dan eksploitasi orang miskin
2.      Penindasan  politik dari kaum lemah
3.      Pentembahan berhala
4.      Korupsi oleh pemimpin agama.
              Masyarakat  Madani Indonesia diakibatkan dengan adanya  gerakan-gerakan  untuk membentuk masyarakat  madani. Cita-cita  reformasi  yang diinginkan adalah  mengakui kebinekaan  sebagai modal utama  bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan  suatu masyarakat  madani yang menghargai  akan perbedaan  sebagai kekuatan  bangsa dan sebagai identitas bangsa Indonesia  yang secara kultural sangat kaya dan bervariasi.