Senin, 02 April 2012

REVIEW BUKU


Nama   : Fajar Nurhidayat
NIM    : 09410113
Kelas   : B
Dosen  : Nur Saidah, S.Ag, M.Ag.

Judul               : Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi
Pengarang       : Dr. Kuntowijoyo
Penerbit           : Penerbit Mizan
Tahun              : 1994
Tebal Buku      : 394 Halaman

D
engan cita-cita normatifnya Kuntowijoyo, umat Islam merupakan suatu kelompok yang akan secara terus-menerus dimotivasi oleh kesadaran subyektifnya untuk membela dan memperjuangkan keadilan sosial ekonomi. Tetapi sika normatif ini hanya akan menjadi aktual jika umat dapat melakukan pemihakan kepada mereka yang, karena proses-proses struktural, dirampas hak-hak dan peluangnya.
Kuntowijoyo percaya bahwa sebagai suatu agama yang memiliki misi untuk humanisasi, liberasi dan transendensi, Islam jelas mempunyai kapasitas untuk dikembangkan sebagai suatu gerakan transformasi bukan saja untuk pembebasan “kelas kerakyatan nasional”, akan tetapi juga untuk kemanusiaan universal. Tapi tentu saja, misi profetik semacam ini membutuhkan sebuah eksperimen. Dan sebagaimana dalam tulisan-tulisannya, Kuntowijoyo telah mengungkapkan banyak pikiran mengenai hal itu dalam konteks Indonesia, sebuah medan historis yang dia telah kenali betul gejolak dan dinamikanya.
 Seperti tertulis dalam bukunya Dr. Kuntowijoyo yang berjudul Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi dibagi menjadi 3 bagian pembahasan, diantaranya:
a.    Bagian Pertama : Konteks Islam di Indonesia: Tranformasi dan Interpretasi
BAB I: Transformasi Kehidupan Agama dan Organisasi-Organisasi Islam
Kebangkitan Islam menghadapi banyak problem, dan Asia tenngara berada dalam suatu transformasi yang sangat cepat ketika negara-negara bangsa dan msyarakatnya menjadi matang. Pengaruh kolonialisme Barat tidak lagi menjadi isu penting dalam pembahasan mengenai Asia tenggara. Masalah mengenai transisi dan modernitas, urbanisme, industrialisme, keadilan dan kesamaan sosial mendominasi pikiran para intelektual Muslim.
Di Indonesia dan Malaysia, mayoritas Muslim menghadapi minoritas non-Muslim yang memperoleh kedudukan ekonomi yang kuat, sementara di Filipina dan Singapura, minoritas Muslim menghadapi mayoritas non-Muslim yang mempunyai segala-galanya di tangan mereka-kekuatan sosial, politik, dan ekonomi.
Di Indonesia, sistem pendidikan Islam terus mengalami perubahan sejak permulaan abad ke-20. Tpe pendidikan Islam yang paling awal adalah pondok pesantren. Jenis pendidikan ini dianggap merupakan adaptasi Islam terhadap lebaga sejenis yang sudah ada sejak periode pra-Islam, pada masa Hindu-Budha. Kini pesantren sudah sangat berkembang, bahkan dengan cara yang main menyangkal definisinya sendiri. Pendidikan pesantren yang tipikal terdiri atas kiai, mesjid, pondok, santri, dan kitab-kitab. Pesantren biasanya dimiliki oleh kiai, begitu pula pondoknya, masjidnya, dan semua kekayaan yang ada disana. Metode pelajarannya adalah bandongan (kuliah) dan sorogan (belajar sendiri). Kehidupan pesantren, baik untuk kiai, ustad, maupun santrinya bersifat pedesaan dan sederhana.
Di Indonesia, pemerintah Orde Baru mempunyai sikap ambivalen terhadap kaum Muslim. Di satu pihak, pemerintah banyak berutang budi kepada kaum Muslim karena partisipasi mereka dalam perjuangan melawan komunis, tapi di pihak lain, mereka menantang munculnya komunitas-komunitas Muslim yang kuat secara politis.
BAB II: Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-1950
Keikutsertaan kaum Muslim dalam bidang politik, mengahasilkan keteganagn antar golongan Muslim dengan penguasa, suatu hal yang mengingatkan kita pada tradisi pertentangan antara kaum santri dengan kaum priyayi. Faktor lain yang ikut menimbulkan ketegangan adalah kepentingan ekonomi dan golongan menengah Muslim yang kini dan dahulu pun, selalu terancam oleh kapitalisme Cina, masalah peka yang menghantui politik ekonomi Indonesia sejak masa pemerintahan kolonial Belanda.
BAB III: Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan Tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950
Anggota AOI (Angkatan Oemat Islam) adalah petani dari desa-desa, berbeda dengan badan lain yang beranggotakan pegawai, buruh atau pedagang. Pada 1948, AOI ditugaskan membantu keamanan di Kebumen untuk membersihkan sisa-sisa pemberontak Madiun juga disertai tugas NTR dari 123 desa di sebelah utara.  
Dalam menyelesaikan problem sosial yang sebagian anggota masyarakatnya memisahkan diri, sebaiknya diadakan sosialisasi. Tapi sejarah rupanya telah bergerak terlalu cepat sebelum timbul perkiraan mengenai apa yang bakal terjadi. Kini tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.
BAB IV: Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam
Berakhirnya perang kemerdekaan dan kekuasaan kolonial telah membuka jalan bagi dirumuskannya kebijakan Islam yang baru yang mengakibatkan bersatunya kembali kaum elit agama. Pada masa Jepang, latihan kiai, latihan ulama, atau latihan penghulu, suatu upaya untuk memobilisasi dukungan elit agama dalam rangka menghadapi perang, telah meletakkan landasan bersama yang baru dan menjembatani jurang antara keduanya. Begitu juga sejarah Republik Indonesia menunjukkan bagaimana mereka makin terus mengalami konvergensi.
Kendatipun demikian, karena berbagai perkembangan historis, gema mengenai mitos tentang pembangkangan Islam tetap saja hidup. Pemberontakan Darul Islam, kemudian Masyumi, dan yang terakhir munculnya fundamentalisme Islam telah menyebabkan mitos itu tetap hidup, bahkan kadangkala sampai kepada tingkat yang tampaknya bagaikan mimpi buruk yang tak kunjung selesai.
BAB V: Agama, Negara, dan Formasi Sosial
Setelah tragedi nasional tahun 1965, militer muncul sebagai kekuatan sosial yang dominan dalam menentukan kembali struktur politik serta arah proses politik, dengan memainkan peranan dwi fungsi secara begitu efektif. Administrasi sipil, dewan-dewan perwakilan rakyat, perusahaan dan bahkan perkumpulan olahraga menunjukkan makin pentingnya peran mereka di balik berbagai kegiatan di semua peringkat.
Politik liberal dari pemeritah kolonial membawa konsekuensi terbukanya Indonesia buat penetrasi penanaman modal dan perluasan pasar internasional. Kelas pedagang Muslim kemudian mampu menangkap peluang ini dengan memperoleh kembali semangat berusaha. Posisi politik kaum Muslim sesudah 1945 tak menjadi lebih baik. Hubungan antara kaum Muslim yang sadar politik dan pemerintah selama kekuasaan Sukarno sering begitu renggang. Setelah mengalami optimisme sebentar, bebagai hal lagi-lagi membuat Islam teralienasi dari negara.
b.    Bagian Kedua: Dari Cita-cita Normatif ke Gerakan Sosial: Beberapa Refleksi Empiris
BAB VI: Visi Teologis Islam dan Problem Peradaban Modern
Di balik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat mengahncurkan martabat manusia. Sejak manusia memasuki zaman modern, yaitu sejak manusia mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka memang telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mitis yang irasional dan belenggu pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Tapi ternyata di dunia modern ini manusia tak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada dirinya sendiri.
BAB VII: Cita-cita Transformasi Islam
Pada dasarnya seluruh kandungan nilai Islam bersifat normatif. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadi operasional dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertama nilai-nilai normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral praktis Al-Qur’an, misalnya untuk menghormati orang tua.
Cara yang kedua adalah menstranformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam perilaku. Agaknya cara yang kedua ini lebih relevan pada saat sekarang ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industrial-suatu restorasi yang membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh daripada sekedar pendekatan legal.
BAB VIII: Umat Islam dan Industrialisasi Indonesia
Di tingkat sekuralisasi subyektif, kiranya perlu ada usaha untuk memberikan pengertian, dorongan dan bimbingan umum untuk mengatasi  rasa menjauhnya hubungan antara agama dengan kehidupan sehari-hari. Sebuah buku pegangan yang kira-kira berjudul, “Nilai Islam dan Masyarakat Industri”, dapat diterbitkan untuk memberi penyesuaian rasional, etis, dan emosional kepada masyarakat. Seorang pengusaha, misalnya harus dapat pengertian dan dorongan untuk bertindak sebagai Muslim untuk menjalankan usaha-usahanya, termasuk di dalamnya begaimana hubungan yang Islami antara pengusaha dengan tenaga kerja.
 BAB IX: Setting Sosial Islam Indonesia: Sebuah Peta Situasi
Pada situasi sekarang, memang mustahil menggerakkan massa apalagi atas nama Islam. Dalam periode ideologi, kita memang memerlukan mobilisasi massa. Tetapi pada zaman teknokrasi seperti sekarang ini, massa tidak begitu memainkan peranan yang berpengaruh. Yang punya pengaruh besar justru teknokrasi, perjuangan politik lewat mobilisasi massa sudah tidak relevan lagi. Dan itu bukan mustahil. Teknokrasi tidak selalu berarti jaringan kekuasaan politik, tetapi juga meiputi jaringan bisnis, pendidikan, media massa dan sebagainya.
Kita menyadari bahwa proses penyadaran ini sama fungsionalnya dengan mobilisasi massa. Kalau pada periode ideologi mobilisasi massa sangat penting, maka pada zaman ide ini proses penyadaran sangat relevan. Banyak kaum muda Islam kini sudah sadar diri, mengerti siapa mereka, tugas-tugas apa yang mereka hadapi, dan apa peranan mereka di masa depan. Melalui generasi seperti ini, generasi yang sebentar lagi akan memasuki struktur teknorasi, kita dapat berharap banyak. Kaum Muslim sadar sudah cukup banyak yang duduk di tingkatan middle-management dari teknokrasi nasional, sementara generasi-generasi angkatan tahun 1960-an juga sudah banyak yang memegang posisi-posisi kunci dalam jaringan teknokrasi. Ini berarti umat Islam sudah dapat mensuplai kebutuhannya sendiri. Inti umat Islam sudah berada di pusat-pusat perubahan.
BAB X: Dimensi-dimensi Sosial Gerakan Islam di Indonesia
Para tokoh pemimpin Islam menggunakan solidaritas pedesaan, solidaritas petani misalnya, untuk menggerakkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Meminjam istilah sosiologi dari Durkheim, solidaritas semacam ini disebut solidaritas mekanis, suatu solidaritas yan terdapat dalam masyarakat komunal. Solidaritas semacam ini memang berakar pada struktur masyarakat agraris, dan biasanya berpusat di sekitar tokoh-tokoh karismatik.
Pola gerakan komunal dengan menggunakan solidaritas mekanis semacam ini bersifat sangat lokal. Ia muncul dimana-mana sampai akhir abad 19 atau awal abad 20, sejarah Indonesia memberikan banyak contoh timbulnya gerakan yang bersifat komunal ini. Misanya seorang kiai, yang karena pengaruh karismatiknya, berhasil menghimpun para pengikutnya dengan solidaritas komunal, selalu dicurigari sebagai telah menggalang solidaritas politik sehingga Belanda berusaha mencari dalih agar dia ditangkap, disuruh membubarkan para pengikutnya, atau dibuang untuk diasingkan. Ini misalnya terjadi terhadap seorang tokoh dari daerah Pekalongan bernama Haji Rifa’i pada tahun 1859.
BAB XI: Islam dan Agenda Nasionalisme Baru: Reflesi tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Jika kita menyadari bahwa pendekatan isealis kita selam ini sudah merupakan langkah yang menyimpang karena telah menyusutkan makna ideologi murni Pancasila menjadi ideologi praktis para pemegang kekuasaan politik, ekonomi, sosial, kita harus mengambil langkah baru. Orientasi baru dengan pendekatan sosiologis itu akan mempunyai akibat:
a.     Digantikannya cara berpikir ekonomisme oelh cara berpikir berdasarkan keadilan sosial.
b.    Diagntikannya individualisme oleh cita-cita kemasyarakatan
c.     Orientasi elitis digantikan oleh orientasi massa
d.    Cara berpikir yang melihat negara dan ideologi nasional secara mitis digantikan oleh budaya ilmiah yang melihat negara dan ideologi secara rasional
e.     Digantikannya kesadaran teknokrasi oleh kesadaran “hati nurani”.
Adapun program-program yang dapat kita kembangkan di masa mendatang adalah:
a.     Menumbuhkan kekuatan demokratis di kalangan masyarakat untuk mewujudkan demokrasi politik yang mampu menangani permasalahan masyarakat industri yang akan datang.
b.    Menumbuhkan kekuatan demokrasi ekonomi yang mampu melakukan delegitimasi terhadap monopoli, ologopoli, dan oligarki ekonomi.
c.     Memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengaktualisasikan diri dalam konteks kesatuan dan persatuan bangsa.
d.    Memobilisasi kecerdasan bangsa dan hati nurani bangsa untuk tujuan-tujuan nasional yaitu menciptakan Indonesia sebagai sebuah keluarga besar.
BAB XII: Pendekatan Evolusioner Atas Budaya Politik Umat: Sebuah Kilas Balik
Partisipasi umat Islam dalam pengalaman politik senantiasa mengalami pasang surut, bergantung pada hubungannya dengan kekuatan politik dominan. Pengalaman ini menjadi pahit terutama karena evolusinay berlangsung parsial, yaitu ketika ia hanya melibatkan sebagian umat dan meninggalkan yang lainnya. tiga karakteristik, kawula, wong-cilik, dan warga negara muncul ke permukaan pada waktu yang seringkali bersamaan. Adalah menjadi tugas nasional dari negara-bangsa dan umat untuk mengembangkan mentalitas warga-negara, akrena dalam masa depan negara industri yang sudah banyak diantisipasi bakal muncul menjelang Pelita VI, adalah warga-negara dengan nilai-nilai demokratis dan mentalitas manusia merdeka, dan bukannya kawula , yang diperlukan. Radikalisme eong-cilik harus makin dilihat dengan pandangan yang bijak, bukan hanya dengan langkah-langkah keamanan, tapi dengan melihat secara mendalam ke latar belakangnya, ke pengalaman historis dan kondisi sosial ekonominya. Melihat radikalisme terutama sebagai pengaruh asing, misalnya karena pengaruh Revolusi Iran, adalah tidak bermanfaat. Radikalisme wong-cilik  itu bersifat pribumi. Pengalaman dengan kesadaran warga-negaradan kelompok budaya politik partisipan dari umat mungkin masih terasa getir dan menyakitkan bagi kelas yang sedang berusaha, tapi itu adalah sesuatu yang terbaik yang patut dicermati pada tahun-tahun mendatang, karena disitulah terletak kepentingan bangsa dan umat sekaligus.
BAB XIII: Strategi Budaya Islam: Mempertimbangkan Tradisi
Satu hal yang tak boleh kita lupakan adalah bahwa kebudayaan populer Indonesia sesungguhnya memiliki tradisi Islam yang kuat dan berakar panjang dalam sejarah. Pemisahan dikotomis antara budaya populer Islam santri dan abangan kini tidak lagi realistis. Proses perubahan sosial yang besar terjadi selama beberapa puluh tahun terakhir ini, menyebabkan jarak budaya antara kaum santri dan abangan makin lama makin lenyap. Yang terjadi justru munculnya generasi baru Islam populer yang sedang mencari format baru dalam dunia modern.
Kebudayaan Islam populer tadisional yang memiliki akar sejarah cukup kuat di Indonesia sesungguhnya masih mendukung penciptaan simbol-simbol baru untuk disusunnya format budaya Islam di masa depan. Bentuk kebudayaan lma, seperti festival-festival kerakyatan, kesenian, dan ekspresi-ekspresi artistik tradisional, masih sangat fungsional untuk mendukung diciptakannya budaya Islam yang baru. Dalam konteks ini, maka jika kita hendak membangun kebudayaan Islam yang modern, kita harus mempertimbangkan pentingnya potensi tradisional ini.
BAB XIV: Pembauran Islam-Tionghoa: Tinjauan dari aspek Sosio-Kultural
Asimilasi struktural telah terjadi lewat berbagai jalan. Pertama, dapat disebutkan bahwa industrialisasi telah menyebabkan pembagian kerja yang relatif merata atarketurunan Tionghoa dan golongan etnis lain, sehingga pembidangan sektor-sektor tertentu tidak lagi dapat dipertahankan. Perlu dicatat, majunya industri baik oleh keturunan Tionghoa bukan masalah etnis lagi, tetapi masalah antara modal besar dan modal kecil, masalah ekonomi yang harus diselesaikan melalui kebijakan ekonomi. Dari sudut pandang asimilasi struktural, saling menukar pekerjaan dan pemerataan kesempatan kerja merupakan gejala positif. Selanjutnya, melalui keterlibatan sosial, dalam olahraga, kesenian, mobilisasi dana, dan sebagainya, asimilasi struktural juga terjadi. Akhirnya, kita juga melihat bahwa keterlibatan institusional dari keturunan Tionghoa dalam berbagai kegiatan organisasi masa dan lembaga-lembaga lain juga merupakan jalan asimilasi struktural itu. Disini, kita bahkan dapat mencatat beberapa nama penting dalam birokrasi dan kapartaian.
BAB XV: Peranan Pesantren Dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika
Peranan pesantren tentu bukan tanpa batas. Sepanjang yang menyangkut pembangunan dengan konteks pedesaan, agraris, dan teknologi sederhana, pesantren merupakan tempat persemaian yang baik. Santri-santrinya, dan lembaga pesantrennya sendiri, merupakan agen yang sesuai dengan tingkat kemajuan semacam itu. Namun kita ingin mencatat supaya pesantren yang sekarang jangan dijadikan satu-satunya model yang terlalu diidealisasikan menjadi sebuah “mitos”. Pembangunanmenuju masyarakat industrial memerlukan lembaga yang memadai.
BAB XVI: Gerakan Sosial Muhammadiyah: Adaptasi atau Reformasi?
Satu hal yang main menjadi penting dalam rangka mengaktualisasikan gerakan Muhammadiyah dalam level sosial yang obyektif, di kota maupun di desa, adalah bahwa secara sadar Muhammadiyah harus kembali berperan untuk mengarahkan tranformasi sosial. Sejarah membuktikan, gerakan sosial Muhammadiyah bukan hanya berhasil melakukan adaptasi namun juga reformasi terhadap sistem yang ada. Kini sekali lagi gerakan Muhammadiyah ditantang untuk membuktikan kemampuannya itu. Jelas bahwa adaptasi sosial yang berhasil dicapai Muhammadiyah sampai sejauh ini masih harus dilanjutkan lagi ke arah reformasi.
c.     Bagian Ketiga: Krarifikasi dan Elaborasi: Ke Arah Reaktualisasi Islam
BAB XVII: Sebuah Model Reaktualisasi: Lima Program Reinterpretasi
Program pertama adalah perlunya dikembangkan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Qur’an. Program kedua adalah mengubah cara berfikir subjektif ke cara berfikir objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Program ketiga adalah mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Program keempat adalah mengubah pemahaman yang a-historis menjadi historis. Program kelima adalah bagaimana merumuskan formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris.
BAB XVIII: Perlunya Ilmu Sosial Profetik
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Tujuan liberasi adalah membebaskan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Dengan ilmu sosial profetik, kita juga akan melakukan reorientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tapi juga dari wahyu.
BAB XIX: Islam dan Kelas Sosial: Upaya Konseptualisasi
Masyarakat Arab pada zaman Nabi rupanya terbagi dalam dua kelas sosial. Yang pertama adalah kelas bangsawan, yang jika diambil analoginya di zaman Yunani kuno, termasuk sebagai warga “polis”, dan yang kedua adalah kelas budak. Kelas pertama, kelas aristrokat, terdiri dari para elit suku yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan perdagangan. Mereka menjadi warga polis kelas satu. Kelas budak, sementara itu adalah warga kelas dua. Tapi ternyata, tidak seperti dalam masyarakat Yunani kuno, jumlah kelas budak ini tidaklah begitu banyak. Artinya sebagai suatu kelas sosial, mereka bukanlah suatu kekuatan yang besar.   
BAB XX: Konsep Teoretis Ilmu dan Konsep Normatif Agama: Kajian Perkembangan Budaya
Pusat organisasi budaya adalah titik api yang membuat bentuk-bentuk budaya itu dikenal sebagai budaya tertentu. Titik api budaya Islam ialah nilai dasar yang melahirkan simbol-simbol dan mendorong produksi simbol-simbol itu. Dalam Islam konsep ini dapat diambil dari derivasi konsep tauhid, seperti misalnya konsep tasbih dan dzikir dalam seni Islam seperti yang menjadi konsep seninya almarhum Ahmad Sadali. Dengan mengenal kaidah yang mengorganisasikan unsur-unsur budaya itu menjadi kesatuan yang bermakna dan utuh, kita temukan sebuah sistem budaya. Dengan memahami kaidah organisasi itu pula kita dapat melihat arah dan tujuan budaya sekaligus.

BAB XXI: Integrasi Sains Sosial Dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan
Perjalanan sejarah intelektual Islam di Indonesia sudah mencapai permulaan tradisi baru. Sejarah tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah urutan kronologis dari alam pikiran ideologis yang membentang sampai 1960-an, disusul dengan anti-ideologis sekuralisme 1970-an, dan dilanjutkan dengan tradisi keilmuan pada dasawarsa 1980-an; semacam perkembangan dialektis dalam sejarah pemikiran. Munculnya tradisi baru ini diharapkan akan dapat memberikan makna pada perkembangan Islam yang lebih luas, memberikan kearifan kepada umat secara keseluruhan, tidak saja kepada kelompok terbatas kaum intelektual.
BAB XXII: Paradigma Al-Qur’an Untuk Perumusan Teori
Struktural transendental Al-Qur’an adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoritis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinil, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam yaitu untuk mengaktualisasikan misinya sebagai khalifah di muka bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia.
BAB XXIII: Paradigma Islam Tentang Transformasi Sosial
Satu hal yang mutlak diperlukan untuk usaha perumusan teori sosial Islam adalah bahwa disamping kita harus merujuk pada konsep-konsep normatif Islam, kita harus memperhatikan pula kenyataan-kenyataan objektif dan empiris yang ada di dalam masyarakat. Jelaslah bahwa teori-teori sosial Islam memiliki redimen-redimen dasarnya pada konsep-konsep normatif Al-Qur’an dan Sunnah, tapi ia kemudian harus dapat menjelaskan gejala-gejala yang aktual dan historis dari fenomena sosial itu. Tidak mungkin kita membangun teori sosial Islam tanpa kita memperhatikan gejala-gejala objektif dan empiris itu.

BAB XXIV: Kebijakan Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam
Menghadapi sistem pendidikan nasional rupanya membawa kita kepada sikap realistis untuk bicara tentang cita-cita pendidikan tinggi Islam sebagai suatu sistem pendidikan yang otonom. Di Indonesia, perguruan-perguruan tinggi Islam tidak dapat dilihat sebagai sistem pendidikan yang memiliki kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri secara otonom. IAIN sebagai perguruan tinggi Islam negeri dan juga universitas Islam swasta telah lama dicakup di dalam sistem pendidikan nasional. Standar dan aturan telah dirumuskan secara hampir seragam, bukan saja untuk pengaturan institusionalnya tapi juga kurikulumnya.

BAB XXV: Historiografi Islam: Kurikulum Untuk Reedukasi Sejarah
Pengajaran sejarah merupakan suatu bagian dalam pendidikan universitas. Pendidikan sebuah universitas Islam tidak dinilai oleh produk-produk akademisnya, tetapi oleh produk-produk manusianya. Sejarah mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pengetahuan manusia, bahkan lebih strategis lagi dalam proses Islamisasi, baik secara religius maupun secara sosial.
Historiografi Islam harus menunjukkan bahwa masyarakat Muslim adalah sebuah entitas yang mempunyai kesadaran diri, yang tidak menerima peranan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Miskonsepsi tentang sejarah Islam sering hanya diakibatkan oleh munculnya sebuah kesadaran palsu. Di satu pihak ia menciptakan mitos suci tentang masa lampau yang tidak memiliki relevansi dengan masa kini, dan di pihak lain ia hanya sebuah sejarah yang muram tentang masa kini tanpa referensi pada masa lampau. Historiografi Islam merupakan satu langkah maju untuk menyongsong kebangkitan umat.





2 komentar:

  1. dengan pembahasan yang sangat panjang ini, adakan hal yang menarik sehingga membuat mas fajar memilih buku ini untuk di resensi?kmudian menurut mas fajar kelebihan dan kekurangan buku ini apa??

    laila nur w - 09410093

    BalasHapus