Judul : Islam dan Pergumulan Budaya
Jawa
Pengarang : Prof. Dr. Simuh
Tahun
terbit : 2003
Penerbit : Teraju
Kota
terbit : Jakarta
Suatu agama yang menjauh dari
rasionalitas-empirik, jelas tidak mendapat dukungan nilai progresif dan mudah
ditinggalkan penganutnya. Ia mudah terjerumus kepada pemikiran serba mistik
yang menimbulkan pola budaya klenik, statis, dan irasional. Sebaliknya, jika
hanya nilai rasio-empirik dan progresif yang dijadikan nilai satu-satunya,
seperti kebudayaan Barat dewasa ini, yang kering nilai religiuitas, maka ia
akan mengantar penganutnya ke pola hidup yang hedonis-sekularistik, yang berujung
pada nestapa manusia modern.
Buku ini menganalisis interaksi
antara Islam dengan budaya Jawa (kejawen) dan Barat modern. Persentuhan antara
budaya Jawa dengan Islam memunculkan Islam yang bercorak sinkretik. Tetapi bila
dilihat dari perspektif kebudayaan Jawa yang paling banyak dipengaruhi
hinduisme, yang terjadi proses sintetik yang amat serasi. Sebagai contoh
lahirnya serat wulangreh, wedhatama, centhini, serat babad demak, ambiya,
dan sebagainya yang mencerminkan proses sintetik itu. Tetapi jika dilihat dari
perspektif Islam yang lahir justru bentuk sinkretik yang tidak murni. Nilai agama
menggejala dalam kepercayaan mistik yang kemudian mempengaruhi adat dengan
berbagai tatacara dan rangkaian upacaranya yang kompleks.
Pada intinya buku ini ingin
memberikan pencerahan kepada umat muslim, bahwa hidup itu tidak statis. Begitu
pula dengan perkembangan Islam yang seharusnya benar-benar mampu mengimbangi
zaman. Era sekarang yang dikatakan sebagai era globalisasi, dimana terjadi
perang teknologi, perang ilmu dan pengetahuan, serta perang wawasan, Islam
sebagai agama sepanjang masa, harusnya berkembang secara fleksibel, yaitu
mengikuti zaman.
Seperti pernyataan penulis Prof. Dr.
Simuh, bahwa ada tiga jenis cara berpikir, pertama, kebudayaan barat
yang mengembangkan cara berpikir rasional sekuler. Kebudayaan rasional sekuler
ini ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Pola pikir seperti ini pernah
menjadi hal yang sangat berjasa dalam kejayaan islam. Kala itu filsafat kembali
merasuki dunia Islam, sehingga nalar rasio kaum Islam tergugah. Saat itulah
Islam mengalami kejayaan. Kebebasan nalar ini membawa kemajuan berpikir ilmiah
dan teknologi, sehingga saat itu muncul banyak ilmuwan muslim. Akan tetapi,
kebebasan bermain dengan rasio, agaknya menjauhkan identitas diri sebagai
muslim yang ber-Tuhan-kan Alloh SWT. Kenyataan ini dapat dilihat dewasa ini, di
mana terjadi kehampaan religiuitas dalam jiwa manusia. Hidup seakan bukan
ber-Tuhan Alloh, namun lebih pada materi keduniaan. Kedua,
kebudayaan-kebudayaan timur pada umumnya. Pada masa pra-ilmiah
kebudayaan-kebudayaan timur umumnya bersendi pada pemikiran religius-mistis dan
penghayatan mistik yang dominan. Pemikiran ini berlawanan dengan tuntutan
budaya modern yang mengedepankan pemikiran rasional. Pola pikir seperti ini
pernah dialami oleh Islam ketika masa-masa dimana hampir semua orang
mengagungkan kemistisan, atau dengan kata lain, orang hampir melupakan dunia,
dan mengutamakan kedekatan dengan Tuhan. Masalah ketauhidanlah yang paling
penting dan utama. Akibatnya saat itu peradaban Islam sangat ketinggalan jauh
dengan bangsa-bangsa lain. Salah satunya karena tidak mau menerima sesuatu yang
baru dan mempertahankan kepercayaan yang secara turun-temurun diikuti. Kini
pemikiran religius-mistis ini terpinggirkan oleh cara berpikir rasional. Ketiga,
pemikiran yang rasional-religius, khususnya kebudayaan Islam yang asli atau
Islam rasional. Tugas nalar manusia adalah memahami, menafsirkan dan mengembangkan
kebudayaan Islam sesuai dengan kemajuan peradaban umat manusia dengan jalan
ijtihad.
Dalam buku ini terdapat ungkapan St.
Takdir Alisjahbana bahwa budaya nasional Indonesia yang akan datang harus
dibina atas dasar pemikiran yang rasional. Beliau bukan kebarat-baratan, karena
dalam analisisnya beliau menemukan bahwa Islam adalah agama yang paling
rasional-religius yang akan mampu mendorong pengembangan ilmu dan teknologi
seperti halnya budaya barat. Ilmu pengetahuan modern memperkenalkan pendekatan
ilmiah bagi umat Islam untuk menemukan ajaran Islam yang sebenarnya, bukan
hanya Islam sebagai produk sejarah yang telah tercemari unsur-unsur budaya
lokal. Karena itu, setiap orang bisa mengkritisi sejarah perkembangan pemahaman
agamanya melalui Al-Quran dan hadis. Sudah saatnya Islam untuk meraih zaman
pencerahan dalam memahami dan mengamalkan agama, yaitu zaman kebangkitan
penalaran dan kembali ke wawasan Islam rasional. Zaman tradisionalisme Islam
harus berlalu, menuju zaman baru yang serba transparan dan pencerahan yang
mengarah kepada kejayaan Islam dan kemajuan di masa mendatang.
Islam sebagai sebuah agama, budaya,
dan peradaban dalam lintas sejarahnya telah membuktikan dirinya dapat eksis
melalui adaptasi, akulturasi, termasuk sinkretasi dengan budaya dan peradaban
di mana Islam datang, berkembang, dan maju pesat seperti di Indonesia. Puncaknya
Islam dapat diterima dan diakui sebagai sebuah agama yang rasional, progresif,
dan sesuai budaya Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Resensi
oleh : Ahmad Hawin Ibnu Salam
(09410189)