Rabu, 28 Maret 2012

REVIEW BUKU

Nama                          : Barid Muntaha
NIM/Kelas                 : 09410106 / B
Mata Kuliah               : Pengembangan Budaya dan Seni Dalam Islam
Dosen Pengampu       : Nur Saidah, S.Ag


Review buku Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi. Dr Kuntowijoyo. Mizan, Bandung, 1994

Pada bab 1 membahas tentang Transformasi Kehidupan Agama dan Organisasi-organisasi Islam: Perspektif Asia Tenggara.
 Di mana di Asia Tenggara mayoritas kaum muslim terus kehilangan banyak peluang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditawarkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat mereka. Kebangkitan Islam sendiri mengalami banyak problem. Masalah-masalah mengenai tradisi dan modernitas, urbanisme, industrialisme, keadilan dan kesamaan sosial mendominasi pemikiran para intelektual Muslim.
Organisasi sosial keagamaan sebagai perwakilan dari aliran reformis di Indonesia diantaranya Muhammadiyah, Persatuam Islam (Persis), dan Al-Irsyad. Wakil dari aliran Syafi’i diantaranya Persatuan Tarbiyah Islamiyah (perti). Sementara wakil dari aliran yang lebih elektik adalah Nahdatul Ulama (NU) yang mengaku menganut keempat mazhab fiqih. Semua pergerakan Islam ini pada dasarnya menggunakan mahzab Syafi’i sebagai basis dari praktik peribadatan mereka.
Gerakan pendidikan dan dakwah di Indonesia dengan sistem pendidikan Islam yang terus mengalami perubahan sejak permulaan abad ke-20, yakni dengan tipe pendidikan Islam model Pondok Pesantren. Yang selanjutnya dengan sistem pendidikan Madrasah dengan kurikulumnya menggunakan pengetahuan umum yang sebelumnya pada Pondok Pesantren hanya dengan model Sorogan (belajar sendiri).
Dalam sub bab Islam dan Intregasi Nasional membahas tentang kaum Muslim di negara-negara ASEAN baik mereka minoritas maupun mayoritas harus menghadapi tantangan abad ke-20 yakni munculnya negara-negara bangsa. Karena alasan-alasan historis yang jelas, posisi mereka pada masa pasca kolonial, secara ekonomis pendidikan dan politik sangat tidak menguntungkan. Segmen-segmen komunitas yang telah termodernisasikan  atau terbaratkan muncul menjadi elit-elit yang berkuasa ketika kekuasaan kolonial telah meninggalkan negara mereka, sehingga mereka harus merebut kedudukan-kedudukan di birokrasi, perekonomian, dan kebudayaan.
Pada bab 2 membahas tentang Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-1950: Sebuah Pencarian Identitas.    
Yang mana golongan menengah Muslim telah menjalani proses evolusi, dari identitas sebagai massa menjadi umat, dan akhirnya warga negara. Latar belakang sejarah kaum santri sangat mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri terhadap perubahan dan bahwa ketegangan dan pertentangan agaknya tak dapat dihindarkan untuk sebagian dari mereka. Bahkan dalam masa kini sifat mendua dari kaum santri masih tampak jelas dalam perbedaan antara yang berasal dari desa dan kota, antara golongan menengah pedagang dengan petani. Kebudayaan politik kaum santri merentang dari peserta ke subjek politik, dari sikap membangkang ke sikap tunduk. Namun keikutsertaannya dalam politik menghasilkan ketegangan antara kaum Muslim dengan penguasa, suatu hal yang mengingatkan kita pada tradisi pertentangan antara kaum santri dengan kaum priyayi. Faktor lain yang ikut menimbulkan ketegangan ialah kepentingan ekonomi dari golongan menengah Muslim yang sampai saat ini selalu terancam oleh kapitalisme Cina.
Sejarah keterlibatan golongan Islam dalam kegiatan politik juga menyangkut kepentingan kelas di mana baik kaum santri golongan menengah pedagang dan warga kota maupun kaum santri golongan petani tampaknya mempunyai pandangan politik yang berbeda. Politik revolusioner SI, sikap non-politik NU dan Muhammadiyah serta radikalisme kelompok santri yang tersisih memberikan memberikan evolusi selama empat dasawarsa.
Definisi tentang umat masih merupakan masalah bagi kepemimpinan Muslim dalam kaitannya dengan konsep masyarakat tertutup atau terbuka. Keikutsertaan dalam kegiatan politik tetap menimbulkan masalah. Tradisi demokrasi di kalangan santri kota bertolak belakang dengan tradisi otoriter di kalangan santri desa. Sejarah menunjukkan bahwa para penguasa berganti-ganti meraih yang satu dan mencampakkan yang lain. Tetapi kerap kali penguasa lebih suka meraih kaum santri yang berkebudayaan otoriter tradisional dari golongan menengah petani dan menjadikannya menjadi kawan politik. Pelaksanaan jiwa kewarganegaraan masih harus melalui jalan yang panjang untuk golongan Muslim dan untuk umumnya rakyat Indonesia mungkin merupakan proses yang tak kunjung selesai. 
Pada bab 3 membahas tentang Angkatan Oemat Islam: Beberapa Catatan Tentang Gerakan Islam Lokal 1945-1950.
Angkatan Oemat Islam (AOI) didirikan sekitar September- Oktober 1945. Sebagai gerakan kelasykaran, sudah banyak dalam melakukan usaha-usaha menghadapi militer Belanda antar 1945-1950 di Kebumen. Gerakan ini tidak akan menarik perhatian kalau pada akhirnya yaitu 1 Agustus 1950 tidak tercatat sebagai pemberontak. Lebih dari segalanya kasus AOI adalah suatu problem sosial. AOI bukan semata-mata suatu badan kelasykaran, tetapi suatu pergerakan sosial, lebih te[atnya pergerakan sosial yang abortif, karena gagal mencapai sasaran pergerakannya.
Dalam menyelesaikan problem sosial yang sebagian anggota masyarakatnya memisahkan diri sebaiknya diadakan sosialisasi. Suatu usaha dari dysnomia ke eunomia pasti tidak terjadi hanya dengan sebuah ultimatum. Seandainya suatu penyelesaian damai terlaksana niscaya jiwa dari 1500 hingga 2000 orang akan selamat dari kematian dan keretakan sosial selanjutnya dapat dihindarkan. Kini tampak bahwa sudah saatnya ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian untuk menyelesaikan problem-problem sosial seperti itu.
Bab 4 membahas tentang Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam: Melacak Asal-usul Ketegangan Antara Islam dan Birokrasi.
Desa Cebolek terletak di Tuban di kawasan pesisir Jawa Timur. Di sini selama kekuasaan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya, Paku Buwana II (1726-1749) hiduplah Haji Mutamakim. Dia menyatakan diri telah mencapai “kasunyatan” (esensi) yaitu “menjadi Muhammad”, menurut tradisi mistik Jawa sebagaimana yang dialami oleh Syekh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ki Bagdad, dan Syekh Amongraga. Dalam khutbah-khutbahnya ia menganjurkan untuk meninggalkan Syari’ah (hukum Islam) dan dengan demikian telah mengguncangkan fondasi komunitas Islam dan Negara.
Pada bab 5 membahas tentang Agama, Negara dan Formasi Sosial: Sejarah Alienasi dan Oposisi Islam di Indonesia. Pada bab 6 membahas tentang Visi Teologis Islam dan Problem Peradaban Modern. Pada bab 7 membahas tentang Cita-cita Transformasi Islam. Pada bab 8 membahas tentang Umat Islam dan Industrialisasi Indonesia: Kancah Pergulatan Baru. Bab 9 membahas tentang Setting Sosial Islam Indonesia: Sebuah Peta Situasi. Bab 10 membahas tentang Dimensi-dimensi Sosial Gerakan Islam di Indonesia. Pada bab 11 membahas tentang Islam dan Agenda Nasionalisme Baru: Refleksi Tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Bab 12 membahas tentang Pendekatan Evolusioner Atas Budaya Politik Umat: Sebuah Kilas Balik.
Partisipasi umat Islam dalam pengalaman politik senantiasa mengalami pasang surut, bergantung pada hubungannya dengan kekuatan politik dominan. Pengalaman itu menjadi pahit terutama karena evolusinya berlangsung parsial, yaitu ketika ia hanya melibatkan sebagian umat dan meninggalkan yang lainnya. Tiga karakteristik, kawula, wong cilik, dan warga negara muncul ke permukaan pada waktu yang seringkali bersamaan. Adalah sebagai tugas nasional dari bangsa dan umat untuk mengembangkan mentalitas warga negara, karena dalam masa depan negara industri yang sudah banyak diantisipasi akan muncul, yakni warga negara dengan nilai-nilai demokratis dan mentalitasmanusia merdeka, dan bukannya kawula yang diperlukan. Radikalisme wong cilik harus semakin dilihat dengan pandangan yang bijak bukan hanya dengan langkah-langkah keamanan tetapi dengan melihat secara mendalam ke latar belakangnya, ke pengalaman historis dan kondisi sosial ekonominya. Melihat radikalisme terutama sebagai pengaruh asing, misalnya karena pengaruh Revolusi Iran, adalah tidak bermanfaat. Radikalisme wong cilik itu bersifat pribumi. Pengalaman dengan kesadaran warga negara dan kelompok budaya politik partisipan dari umat mungkin masih terasa getir dan menyakitkan bagi kelas yang sedang berkuasa, tetapi itu adalah sesuatu yang terbaik yang patut dicermati pada tahun-tahun mendatang karena di situlah terletak kepentingan bangsa dan umat sekaligus.  
 Bab 13 membahas tentang Strategi Budaya Islam: Mempertimbangkan Tradisi. Bab 14 tentang Pembaruan Islam-Tionghoa: Tinjauan Dari Aspek Sosio-Kultural. Bab 15 membahas Peranan Pesantren Dalam Pembangunan Desa: Potret Sebuah Dinamika. Bab 16 membahas tentang Gerakan Sosial Muhammadiyah: Adaptasi atau Reformasi?. Bab 17 tentang Sebuah Model Reaktualisasi: Lima Program Reinterpretasi. Bab 18 membahas Perlunya Ilmu Sosial Profetik. Bab 19 tentang Islam dan Kelas Sosial: Upaya Konseptualisasi. Bab 20 membahas Konsep Teoritis Ilmu Dan Konsep Normatif Agama: Kajian Perkembangan Budaya.
Pada bab 21 membahas tentang Intregasi Sains Sosial Dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan.
Perjalanan sejarah intelektual Islam di Indonesia sudah mencapai permulaan tradisi baru. Sejarah tersebut dapat digambarkan sebagai sebuah urutan kronologis dari alam pikiran ideologis yang membentang sampai 1960an, disusul dengan anti-ideologis sekularisme 1970an, dan dilanjutkan dengan tradisi keilmuan pada dasawarsa 1980an semacam perkembangan dialektis dalam sejarah pemikiran. Munculnya tradisi baru ini diharapkan akan dapat memberikan makna pada perkembangan Islam yang lebih luas, memberikan kearifan kepada umat secara keseluruhan tidak saja kepada kelompok terbatas kaum intelektual. Proses pencerdasan masa itu sangat penting dalam pembentukan masyarakat Islam. Urutan iman, ilmu dan amal menjadi relevan dalam hal ini. Jika ilmu-ilmu sosial sudah mendapatkan pancaran dari iman, maka ilmu pada akhirnya harus diuji dengan amal. Moeslim Abdurrahman mengisyaratkan supaya ilmu-ilmu sosial Islam menjadi ilmu transformatif, mempunyai kemampuan untuk menkonstruksikan masyarakat. Ilmu sosial Islam juga ilmu profetik, artinya ilmu yang melaksanakan tugas-tugas kenabian. Masih banyak yang harus dikerjakan, diantaranya pendalaman filsafat ilmu dan metodologi. Untuk mendapatkan tempat terhormat sebagai ilmu, ilmu-ilmu sosial Islam harus mampu mempertahankan diri dengan filsafat dan metodologi.   
 Bab 22 membahas Paradigma Al-Quran Untuk Perumusan Teori. Bab 23 membahas tentang Paradigma Islam Tentang Transformasi Sosial. Bab 24 membahas tentang Kebijakan Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam.
 Bab 25 membahas tentang Historiografi Islam: Kurikulum Tentang Reedukasi Sejarah.
Pengajaran sejarah merupakan suatu bagian dalam pendidikan universitas. Pendidikan sebuah universitas Islam tidak dinilai oleh produk-produk akademisnya, tetapi oleh produk-produk manusianya. Sejarah mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pengetahuan manusia, bahkan lebih strategis lagi dalam proses Islamisasi, baik secara religious maupun secara sosial. Mata kuliah-mata kuliah yang diiktisarkan yang semuanya berkenaan dengan sujek-subjek Islam yang perlu dilengkapi dengan sejarah komparatif. Karena pendidikan berorientasi Islam bukan merupakan sebuah sistem yang tertutup, orang harus mengakui kontinyuitas dan universalitas peradaban manusia. Historiografi Islam harus menunjukkan bahwa masyarakat Muslim adalah sebuah entitas yang mempunyai kesadaran diri, yang tidak menerima peranan hanya sebagai objek, tetapi menjadi subjek. Historiografi Islam merupakan satu langkah maju untuk menyongsong kebangkitan umat.

2 komentar:

  1. mau nanya, itu kok yang dijelaskan hanya bab awal-awal saja,sedangkan bab-bab akhi hanya memuat judul bab?mohon penjelasannya



    maherlina

    BalasHapus
  2. Mas Barid Yang berbahagia.....
    Resensinya sudah bagus mas, tapi alangkah bagusnya kalau ditambahi dengan tanggapan kritis/ komentar dari buku tersebut. jangan hanya memaparkan pada isi materi yang di bahas dalam masing-masing bab. Lebih bagus lagi kalau di lengkapi dengan kelebihan atau kekurangan buku untuk mengidentifikasi kualitas buku tersebut...:)Ok....

    BalasHapus