Selasa, 27 Maret 2012

Resensi Buku

Misbachol Munir
09410258

Pengarang                   : H. Abdul Jamil, dkk..
Judul                           : Islam dan Kebudayaan Jawa
Penerbit                       : Gama Media
Tahun cetak                 : 2000
Cetakan                       : Pertama
Jumlah halaman           : 312 + XII
ISBN                           : 979-9193-57-5

Islam dan Jawa merupakan dua entitas yang berbeda. Namun dalam kenyataannya keduanya dapat hidup berdampingan secara damai. Masuknya Islam ke tanah Jawa itu sendiri terbukti tidak menimbulkan ketegangan-ketegangan yang cukup berarti. Bahkan lebih dari itu, keduanya saling terbuka untuk berinteraksi dan interelasi pada tataran nilai dan budaya.
Ada banyak kemungkinan yang terjadi dalamsebuah mekanisme interelasi. Islam mempengaruhi kebudayaan Jawa ataukan Islam dan Jawa saling mempengaruhi. Maka sebenarnya yang terjadi Islamisasi kultur Jawa ataukah Jawanisasi kultur Islam.
1.      Budaya dan kepercayaan Jawa pra-islam
Masyarakat Jawa atau tepatnya suku bangsa Jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai dialeknya secara turun-temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari tempat tersebut. Nenek moyang suku Jawa tidak berbeda dari suku-suku di Indonesia yang menempati Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatra, dan Sunda. Wilayah ini masih menjadi satu pada zaman es sebelum mencair.
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat dari ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Di Jawa, anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara orang tua mereka, bahkan oleh tetangga dan acap kali diangkat sebagai anak. Semboyan saiyeg saeka praya, atau gotong royong merupaka rangkaian hidup tolong-menolong sesama warga.
Ciri masyarakat jawa adalah berketuhanan. Suku bangsa jawa sejak zaman prasejarah tlah memiliki kepercayaan terhadap suatu kekuatan yang lebih besar dari manusia. Kepercayaan masyarakat Jawa pra hindu budha memiliki kepecayaan dan dapat diklasifikasikan menjadi kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan animism adalah kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuhan, ataupun hewan. Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa di samping semua yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai sesaji dan juga pemberian sesaji pada kuburan-kuburan tua dari tokoh terkenal atau tempat-tempat yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau bahaya.
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang mereka bangun adalah hasil adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari adalah penentu dari kehidupan seluruhnya. Sebagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta. Hal ini dilakukan agar semua kekuatan alam yang mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat. Tindakan keagamaan tersebut adalah sisa kepercayaan zaman dinamisme.
2.      Sejarah masuknya islam ke Jawa
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Ada yang mengatakan Islam masuk ke Jawa sebagaimana datang ke Sumatra., yang diyakini abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh masehi. Menurut Hamka, adanya berita Cina yang mengisahkan kedatangan utusan raja Ta Cheh kepada ratu Sima. Adapun raja Ta Cheh, menurut Hamka adalah Raja Arab dan Khalifah saat itu adalah Muawiyah bin Abi Sofyan. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Ruban Levy menyatakan bahwa pada 34 H, Muawiyah memiliki 5000 buah kapal armada laut. Oleh karena itu tidaklah mustahil pada tahun 674 M Muawiyah dapat mengirimkan dutanya ke Kalingga.
Dalam bentuk artefak kita dapatkan bukti-bukti tersebut dalam bentuk makam, masjid, ragam hias, dan tata kota. Bukti sejarah yang paling factual adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah Binti Maemun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M). Moqouette seperti dikutip sartono Kartodirjo, mengatakan bahwa batu nisan itu merupakan bukti konkret masuknya Islam di Jawa.
Teks Babad Tanah Jawi Versi Prosa menjelaskan bahwa islam diceritakan bermula dari Makdum Ibrahim Asmara yang bertamu ke negeri Campa. Tentang asalnya hanya diceritakan berasal dari tanah Sabrang yang datang dan mencobamembujuk raja Campa untuk masuk agama Islam. Raja Campa mengikuti ajakan Makdum Ibrahim karena rakyat Campa sudah banyak yang memeluk agama Islam.raja Campa mempunyai tiga anak, yaitu dua putri dan yang terahir putra yang mengantikan tahta ayahnya. Putri pertama menikah dengan prabu Brawijaya Majapahit, sedangkan putri kedua menikah dengan Makdum Ibrahim dan dikaruniai dua anak laki-laki bernama Raden Rahmat, dan Raden Santri. Dengan asumsi demikian, maka hubungan Majapahit dengan Cempa merupakan pertanda munculnya Islam dalam Kerajaan Majapahit.
Media yang digunakan dalam penyebaran pada masa awal adalah dengan memanfaatkan jalur perdagangan dan perkawinan. Di samping juga melalui pesantren, sebagaimana dirintis Sunan Ampel. Jalur perkawinan sebagaimana terjadi pada Darawati dari Cempa Muslim dengan Majapahit, atau sebagaimana Raden Rahmat dengan putrid Walatikta, yang menurut hikayat Hasanudin putrid itu bernama Nyai Gede Nila.
3.      Religiusitas Masyarakat Jawa
Pada orang Jawa, keadaannya sangat berbeda dengan orang Eropa jaman ini, karena teori dan praktek tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tolak ukur pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan tertentu, yaitu kesenangan, ketentraman, dan keseimbangan hidup. Oleh karena itu dalam membicarakan pandangan dunia Jawa tidak hanya mengupas tentang agama dan mitos, melainkan juga tentang upacara menanam padi dan memanen, kehidupan keluarga dan seni tari-tarian, mistik, dan susunan desa.
Dalam pandangan dunia Jawa, terdapat empat lingkaran bermakna, yaitu pertama, lingkaran yang bersifat ekstrovert (sikap terhadap dunia luar, lahir maupun batin). Kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinous (ukhrowi, adikodrati). Ketiga, berpusat pada keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan yang maha kodrati. Keempat, adalah penentuan semua lingkaran pengalaman mistik.
Tujuan resmi terakhir usaha-usaha mistik jawa adalah pencapaian kesatuan hamba dan Tuhan, tetapi tekanannya bukan hanya terletak pada pengalaman transendensi, melainkan juga pengalaman kesatuan Yang Ilahi mempunyai nilai pragmatis. Di dalamnya kekakuan individual membulatkan usahanya untuk mengontrol segala eksistensinya.
Pandangan dunia Jawa tentang kehidupan mengatakan bahwa masyarakat dan alam merupakan kehidupan orang Jawa sejak lahir. Masyarakat sebagai perwujudan kumpulan keluarga besar, terjadi mula-mula dari keluarga kecil (sendiri), keluarga tetangga, baik dekat maupun jauh, dan akhirnya seluruh desa. Lingkungan ini diatur dengan norma dan adat sehingga akhirnya nanti setiap anggotanya akan menemukan identitas dan keamanan jiwa. Nila anggota masyarakat terpisah dari aturan di atas, maka mereka akan merasa dikucilkan, sendirian, dan seolah-olah hidupnya tanpa makna.
Orang Jawa mengenal dua tanda yang tidak dapat salah, yaitu yang bersifat social dan psikologis. Di tingkat masyarakat, tanda yang paling jelas bahwa setiap pihak berada pada tempat kosmisnya yang tepat, yaitu keselarasan social. Etika Jawa bertolak dari pengandaian-pengandaian pandangan dunia yang berbeda. Bagi orang Jawa tidak ada bidang eksistensi manusiawi yang ditentukan semata-mata oleh hukum obyektif yang dapat diperhitungkan, melainkan orang Jawa akan menemukan diri dalam suatu dunia yang selalu dipengaruhi oleh kekuatan halus diluar perhitungan manusia. Norma-norma tersebut dapat masuk akal nila ada kemungkinan betul-betul mencapai hasil-hasil yang dikehendaki dalam dunia. Norma-norma tersebut dianggap mewajibkan secara mutlak walaupun hanya prima tacie. Jadi semua norma itu dapat membawa kewajiban actual, bukan hanya sikap hormat sesuai tata karma.
Pandangan dunia Jawa melihat pada latar belakang paham kekuasaan yang disimbolkan seorang raja (ratu). Raja adalah seorang figure yang dapat memusatkan suatu takaran kekuasaan, dan merupakan seorang yang sakti. Seorang raja bagaikan lautan, yang dapat menampung seluruh air dari manapun.      
Salah satu sifat dari masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religious dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Keberagaman ini semakin berkualitas dengan masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik, dan Protestan ke Jawa. Dalam pelaksanaannya, terjadi sinkretisme dalam beragama. Adapun pengertiannya adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang agak berbeda dan bertentangan.
Sinkretisme agama dengan unsur-unsur luar, walaupun tidak dikehendaki oleh sebagian ulama dan tokoh agama, telah merambah semua agama termasuk Islam. Oleh karena itu, meskipun semua orang Islam mengatakan bahwa dalam beragama mereka selalu berpedoman pada Al-quran dan as-sunnah, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa di setiap tempat dapat dijumpai amalan Islam yang khas dan berbeda karakter bila dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Begitu juga dengan Islam dalam masyarakat Jawa.
Dalam sinkretisme sendiri terdapat beberapa macam contoh dalam pelaksanaannya. Seperti :
a. Penggabungan antara dua agama/aliran atau lebih. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru.
b.    Dalam masalah kepercayaan.
c.    Bidang ritual.
4.      Interelasi Nilai Jawa dan Islam.
Dalam proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan tentang bagaimana cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya Jawa. Pendekatan yang pertama adalah Islamisasi kultur Jawa. Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik dari segi formal, maupun substansial. Adapun pendekatan yang kedua adalah Jawanisasi Islam. Hal ini diartikan sebagai upaya penginternalisasikan nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa. Interelasi nilai-nilai Islam dalam budaya dan seni Jawa mencangkup dalam aspek kepercayaan dan ritual, bidang sastra, , pewayangan, arsitektur, pengaruh pada sistem politik, pendidikan, dan perspektif ekonomi.
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sacral, yang suci,  dan yang gaib. Dalam hubungan antara budaya Jawa dengan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual menunjukkan secara jelas, baik tersirat maupun tersurat, secara langsung maupun tidak langsung, bahwa memang terjadi dalam kehidupan keberagamaan orang Jawa suatu  upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan budaya pra-Islam. Upaya tersebut dilakukan sejak Islam mulai disebarkan oleh para mubaligh yang tergabung dalam Walisongo dan dilanjutkan oleh pujangga keraton, serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa Islam. Upaya tersebut masih terus berproses hingga dewasa ini. Sebagian dari nilai-nilai Islam itu telah menjadi bagian dari budaya Jawa, kendatipun di sana-sini warisan nilai-nilai budaya pra-Islam masih tampak meski dalam wadah yang islami.
5Dinamika Nilai Islam Dan Tantangan Modernitas
Sewaktu Islam memasuki tanah Jawa, masyarakat telah memiliki kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Dengan masuknya Islam, maka terjadi perpaduan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha, dan Islam. Karkono Kamajaya memberikan batasan tentang kebudayaan Jawa, yaitu perwujudan budi manusia Jawa yang meliputi kemauan, cita-cita, ide, maupun semangat untuk mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan lahir batin.
Terdapat dua faktor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam tersebut, yaitu :
1.      Sifat dari budaya pada hakikatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain. Lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, maka tidak ada budaya yang terlepas dari unsur budaya lain.
2.       Sikap toleran Walisongo dalam menyampaikan agama Islam di tengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis.
Nilai budaya pra Islam bercorak sinkretis tidak mudah digantikan oleh budaya Islam yang monotheistis. Jadi, yang tercipta kemudian adalah perpaduan antara nilai budaya Jawa dengan nilai budaya Islam.
Nilai budaya jawa Islam terdiri dari gagasan atau konsep dari berbagai hal, pada umumnya dijadikan pedoman dalam kehidupan penganutnya. Agar dijadikan sebagai pedoman, maka nilai tersebut bersifat abstrak dan diwujudkan dalam norma-norma untuk mengatur tindakan individu di berbagai lapangan.
Dalam proses perubahan kebudayaan, ada unsur-unsur yang mudah berubah dan yang sukar berubah. Linton membagi kebudayaan menjadi inti kebudayaan dan perwujudan kebudayaan. Bagian inti terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, beberapa adat yang telah mapan, dan yang telah mapan di tengah masyarakat. Sementara wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar atau fisik dari kebudayaan, seperti alat atau benda-benda hasil seni budaya, nudah untuk berubah.
6.      Aqidah Islam Dan Ritual Budaya Dalam Umat Islam Jawa.
Umat Islam dalam memandang fenomena ajaran Islam terpolakan menjadi dua, yakni pola pemahaman tradisional tekstual dan rasional konteksual. Pola yang pertama hanya melihat bunyi teksnya sedangkan yang kedua, selain memperhatikan aspek internal, juga menganalisis aspek eksternalnya. Dengan dua pola tersebut, sebenarnya kedua-duanya tidak terlepas dari teks dan rasio sehingga dengan demikian diharapkan kedua pola pendekatan tidak dipertentangkan secara dikotomik, tetapi dipandang sebagai variasi dan dinamika pemahaman Islam.
Dalam konteks keindonesiaan ada dua organisasi yang pada akhirnya mencerminkan dua aliran yang berseberangan, yakni NU dan Muhammadiyah. NU dengan tradisionalisnya mengkontekstualkan ajaran agama menyesuaikan dengan keadaan kultur budaya yang ada, sedangkan Muhammadiyah sebagai kaum modernis yang bersemboyan kepada Al-quran dan as-sunnah dan berusaha untuk mengembalikan tradisi islam indonesia yang telah mapan kepada Quran dan Sunnah, dan mengesampingkan kultur budaya yang telah melekat pada masyarakat.
Sebenarnya dapat disimpulkan bahwa kedua aliran tersebut dalam ajaran fundamentalnya sama, tetapi berbeda dalam cabang (khilafiyah furuiyyah). Masalah akidah dan ibadah tidak ada masalah, hanya beberapa cabang ibadah yang sedikit ada perbedaan yang sebenarnya tidak menjadi masalah.                                                                             

2 komentar:

  1. suharyanto : "Tulisan ini cukup menarik utk saya cermati, kebetulan saya senang dengan kebudayaan jawa," seandainya saja kebudayaan jawa mampu problematika-problematika dengan ke-Jawa-an nya, tentu akan menjadi sesuatu yang lebih dari sisi kebudayaannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Misbachol Munir: saya sepakat dengan anda, tetapi ada suatu masalah yang menjadikan hal yang qta harapkan tidak terjadi yaitu hilangnya rasa kejawaannya pada seorang generasi muda jawa yang menjadikan unsur budaya jawa akan semakin hilang.
      (dalam pepatah jawa dikatakan "wong jowo ilang jowone")

      Hapus